Oleh :
Rahimi Sabirin
Direktur Program Center for Moderate Muslim
Ada yang paradoks dengan perkembangan umat Islam dewasa ini. Di tengah tantangan globalisasi yang memengaruhi segala aspek kehidupan manusia, umat Islam cenderung terjebak dengan persoalan internalnya sendiri. Konflik, korupsi, kemiskinan, keterbelakangan dan bahkan kelaparan belum 'menjauh' dari tubuh umat Islam.
Padahal, dunia terus bergerak maju. Globalisasi memungkinkan semua komponen masyarakat dunia menatap masa depan. Negara-negara maju terus melaju, sedangkan negara-negara berkembang lainnya terus bergerak menjadi negara industri baru. Mereka berlomba dan berpacu mewujudkan kemajuan untuk kejayaan bangsa dan kesejahteraan rakyatnya.
Ada sejumlah negara Muslim, yang sudah bergerak menjadi negara industri, seperti di Timur Tengah dan Asia Tenggara, tetapi mereka kalah dalam persoalan keunggulan kompetitif. Mereka mengandalkan kemurahan alam, sebagai bahan baku industri. Beruntung Tuhan memberkahi banyak negara Muslim dengan minyak dan mineral, yang menjadi penopang kehidupan rakyatnya.
Namun bagaimana dengan konteks globalisasi? Apakah manusia masih dapat berpangku tangan pada kemurahan alam? Secara teoretis, alam punya keterbatasan. Abad global adalah zaman inovasi dan kreativitas, tidak hanya di bidang rekayasa teknologi tetapi juga rekayasa sosial. Rekayasa teknologi dan rekayasa sosial berjalan seiring untuk menciptakan nilai tambah atas suatu hasil alam dan kreasi manusia demi mewujudkan tujuan-tujuan kehidupan manusia yang lebih baik.
Kita sependapat, pada dasarnya globalisasi sesuatu yang niscaya. Tidak ada tempat bagi eksklusifisme. Kekhawatiran yang muncul dewasa ini di banyak kalangan hanyalah tanda-tanda bahwa mereka sadar akan dampak mondialisme. Muncul kesadaran, pilihan yang tersedia tidak lebih dari dua: pecundang atau pemenang. Tidak ada istilah merajuk dengan keniscayaan zaman ini.
Umat Islam dengan populasi seperlima penduduk dunia sudah seharusnya menyadari betul fenomena zaman ini. Dulu sudah ada globalisasi, ditandai perdagangan antarkerajaan kuno, tribalisme, peperangan dan migrasi, tetapi globalisasi di zaman kita jauh berbeda. Globalisasi kali ini tidak ada persedennya dalam sejarah. Ke depan ia akan terus mengalami proses dialektika yang sistemik. Konflik dan ketegangan akan terus mewarnai proses sejarah manusia, tetapi resolusi akan terus diupayakan.
Masalah umat Islam
Cuma, internal umat Islam saat ini masih dililit sejumlah permasalahan krusial yang bisa menggiring umat menjadi pecundang sejati di era global. Di antaranya masalah kemiskinan. Kalau kita jejerkan negara-negara Islam dari Maroko hingga Indonesia, umumnya masih dibelit kemiskinan yang bersifat struktural dan kultural sekaligus.
Apalagi kalau kita tukikan pandangan ke negara-negara Afrika dan Asia Selatan, maka angka kemiskinan makin membuncah. Sebutlah negara-negara seperti Nigeria, Sudan, Ethiopia, Senegal, Chad, atau Pantai Gading yang mayoritas Muslim, ternyata masih dibelit kemiskinan akut. Kematian akibat kekuragan gizi alias kelaparan masih menjadi pamandangan biasa di benua hitam. Begitu pula di Asia Selatan. Gejala serupa juga melanda Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Umat Islam juga masih dibelit korupsi. Di antara problem krusial yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam adalah korupsi. Korupsi memang gejala mondial, seiring dengan perkembangan kapitalisme yang merusak, tetapi korupsi di negara-negara Muslim betul-betul telah bersifat destruktif. Ironisnya, terjadi pula resistensi atas gerakan antikorupsi.
Problem lainnya berkaitan dengan sektor pendidikan dan kesehatan yang masih parah. Secara umum negara-negara Muslim tergolong sedang berkembang. Secara geografis, umumnya terletak di Afrika dan Asia. Tingkat pendidikan masih memprihatinkan. Masih banyak yang buta huruf. Angka partisipasi di dalam pendidikan masih rendah. Sulit bagi mereka bicara tantangan global, ketika sebagian besar mereka masih sibuk dengan urusan perut.
Di bidang kesehatan, negara-negara Muslim juga masih dibelit berbagai macam penyakit menular. Sementara pemerintahnya yang memiliki anggaran terbatas tidak berdaya. Apalagi sebagiannya hilang di meja-meja birokrasi. Jadi penyebab lainnya, ketidakmampuan menangani atau mengelola sektor kesehatan. Manajemen korup menyebakan anggaran yang dialokasikan bagi peningkatan kesejahteraan warga menjadi hilang begitu saja.
Konflik yang berkepanjangan di negara-negara Muslim juga problem tersendiri. Secara umum, ini merupakan global paradox, sebagaimana dikatakan John Naisbit dan Patricia Aburden (1990), namun intensitas konflik di negara-negara Muslim sangat tidak masuk akal. Sering konflik itu terjadi antara umat Islam sendiri. Kondisi paling memperihatinkan tentu gejala terorisme.
Tidak ada metode lain bagi umat Islam kecuali melakukan terobosan untuk keluar dari pelbagai permasalahan internalnya. Ini mengingat tantangan globalisasi bisa memunculkan dua kemungkinan tadi: menjadi pemenang atau pecundang. Konflik internal yang memelahkan harus dihentikan. Korupsi mesti diberantas karena inilah penyakit utama yang mengganjal kemajuan bangsa Islam selama ini.
Sektor pendidikan dan kesehatan jelas menjadi andalan pokok untuk bersaing di abad ke-21. Pendidikan harus digenjot habis-habisan oleh suatu kepemimpinan yang kuat. Pemimpin korup jelas tidak relevan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa. Dunia Islam juga tidak bisa lagi diamanatkan kepada pemimpim yang lemah, sekalipun dipilih secara demokratis.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin-pemimpin Muslim yang mampu mentransformasi keunggulan kompetitif, bukan lagi keunggulan komparatif. Semua negara bisa menciptakan produk yang sama, tetapi bagaimana keunggulan komparatif yang masih dipunyai negara-negara Islam bisa dikonversikan menjadi sesuatu yang dapat bersaing di era pasar global, tidak hanya dalam konteks ekonomi, tapi juga sosial, politik, dan militer.
Padahal, dunia terus bergerak maju. Globalisasi memungkinkan semua komponen masyarakat dunia menatap masa depan. Negara-negara maju terus melaju, sedangkan negara-negara berkembang lainnya terus bergerak menjadi negara industri baru. Mereka berlomba dan berpacu mewujudkan kemajuan untuk kejayaan bangsa dan kesejahteraan rakyatnya.
Ada sejumlah negara Muslim, yang sudah bergerak menjadi negara industri, seperti di Timur Tengah dan Asia Tenggara, tetapi mereka kalah dalam persoalan keunggulan kompetitif. Mereka mengandalkan kemurahan alam, sebagai bahan baku industri. Beruntung Tuhan memberkahi banyak negara Muslim dengan minyak dan mineral, yang menjadi penopang kehidupan rakyatnya.
Namun bagaimana dengan konteks globalisasi? Apakah manusia masih dapat berpangku tangan pada kemurahan alam? Secara teoretis, alam punya keterbatasan. Abad global adalah zaman inovasi dan kreativitas, tidak hanya di bidang rekayasa teknologi tetapi juga rekayasa sosial. Rekayasa teknologi dan rekayasa sosial berjalan seiring untuk menciptakan nilai tambah atas suatu hasil alam dan kreasi manusia demi mewujudkan tujuan-tujuan kehidupan manusia yang lebih baik.
Kita sependapat, pada dasarnya globalisasi sesuatu yang niscaya. Tidak ada tempat bagi eksklusifisme. Kekhawatiran yang muncul dewasa ini di banyak kalangan hanyalah tanda-tanda bahwa mereka sadar akan dampak mondialisme. Muncul kesadaran, pilihan yang tersedia tidak lebih dari dua: pecundang atau pemenang. Tidak ada istilah merajuk dengan keniscayaan zaman ini.
Umat Islam dengan populasi seperlima penduduk dunia sudah seharusnya menyadari betul fenomena zaman ini. Dulu sudah ada globalisasi, ditandai perdagangan antarkerajaan kuno, tribalisme, peperangan dan migrasi, tetapi globalisasi di zaman kita jauh berbeda. Globalisasi kali ini tidak ada persedennya dalam sejarah. Ke depan ia akan terus mengalami proses dialektika yang sistemik. Konflik dan ketegangan akan terus mewarnai proses sejarah manusia, tetapi resolusi akan terus diupayakan.
Masalah umat Islam
Cuma, internal umat Islam saat ini masih dililit sejumlah permasalahan krusial yang bisa menggiring umat menjadi pecundang sejati di era global. Di antaranya masalah kemiskinan. Kalau kita jejerkan negara-negara Islam dari Maroko hingga Indonesia, umumnya masih dibelit kemiskinan yang bersifat struktural dan kultural sekaligus.
Apalagi kalau kita tukikan pandangan ke negara-negara Afrika dan Asia Selatan, maka angka kemiskinan makin membuncah. Sebutlah negara-negara seperti Nigeria, Sudan, Ethiopia, Senegal, Chad, atau Pantai Gading yang mayoritas Muslim, ternyata masih dibelit kemiskinan akut. Kematian akibat kekuragan gizi alias kelaparan masih menjadi pamandangan biasa di benua hitam. Begitu pula di Asia Selatan. Gejala serupa juga melanda Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Umat Islam juga masih dibelit korupsi. Di antara problem krusial yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam adalah korupsi. Korupsi memang gejala mondial, seiring dengan perkembangan kapitalisme yang merusak, tetapi korupsi di negara-negara Muslim betul-betul telah bersifat destruktif. Ironisnya, terjadi pula resistensi atas gerakan antikorupsi.
Problem lainnya berkaitan dengan sektor pendidikan dan kesehatan yang masih parah. Secara umum negara-negara Muslim tergolong sedang berkembang. Secara geografis, umumnya terletak di Afrika dan Asia. Tingkat pendidikan masih memprihatinkan. Masih banyak yang buta huruf. Angka partisipasi di dalam pendidikan masih rendah. Sulit bagi mereka bicara tantangan global, ketika sebagian besar mereka masih sibuk dengan urusan perut.
Di bidang kesehatan, negara-negara Muslim juga masih dibelit berbagai macam penyakit menular. Sementara pemerintahnya yang memiliki anggaran terbatas tidak berdaya. Apalagi sebagiannya hilang di meja-meja birokrasi. Jadi penyebab lainnya, ketidakmampuan menangani atau mengelola sektor kesehatan. Manajemen korup menyebakan anggaran yang dialokasikan bagi peningkatan kesejahteraan warga menjadi hilang begitu saja.
Konflik yang berkepanjangan di negara-negara Muslim juga problem tersendiri. Secara umum, ini merupakan global paradox, sebagaimana dikatakan John Naisbit dan Patricia Aburden (1990), namun intensitas konflik di negara-negara Muslim sangat tidak masuk akal. Sering konflik itu terjadi antara umat Islam sendiri. Kondisi paling memperihatinkan tentu gejala terorisme.
Tidak ada metode lain bagi umat Islam kecuali melakukan terobosan untuk keluar dari pelbagai permasalahan internalnya. Ini mengingat tantangan globalisasi bisa memunculkan dua kemungkinan tadi: menjadi pemenang atau pecundang. Konflik internal yang memelahkan harus dihentikan. Korupsi mesti diberantas karena inilah penyakit utama yang mengganjal kemajuan bangsa Islam selama ini.
Sektor pendidikan dan kesehatan jelas menjadi andalan pokok untuk bersaing di abad ke-21. Pendidikan harus digenjot habis-habisan oleh suatu kepemimpinan yang kuat. Pemimpin korup jelas tidak relevan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa. Dunia Islam juga tidak bisa lagi diamanatkan kepada pemimpim yang lemah, sekalipun dipilih secara demokratis.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin-pemimpin Muslim yang mampu mentransformasi keunggulan kompetitif, bukan lagi keunggulan komparatif. Semua negara bisa menciptakan produk yang sama, tetapi bagaimana keunggulan komparatif yang masih dipunyai negara-negara Islam bisa dikonversikan menjadi sesuatu yang dapat bersaing di era pasar global, tidak hanya dalam konteks ekonomi, tapi juga sosial, politik, dan militer.
No comments:
Post a Comment