Amich Alhumami
Peneliti Sosial, Bekerja di Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas
Setelah kekuasaan Islam jatuh pada abad ke-13 (Timur, Irak) dan abad ke-15 (Barat, Andalusia), pencapaian sains-teknologi di dunia Islam mengalami kemunduran total. Di zaman keemasan Islam, Damaskus, Baghdad, Kairo, Cordova, dan Alhambra adalah kota-kota legenda yang menjadi simbol kemajuan peradaban Islam. Kota-kota itu juga sekaligus menjadi pusat pengembangan sains-teknologi dan tempat kelahiran banyak ilmuwan Muslim yang menguasai hampir semua cabang ilmu pengetahuan. Setelah hegemoni kekuasaan Islam berakhir, aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan mengalami stagnasi, daya kreasi dan inovasi teknologi menjadi tumpul, dan penemuan ilmiah tak pernah muncul lagi.
Pengembangan sains-teknologi dan diseminasi penemuan ilmiah bukan hanya masalah kompetensi ilmuwan, tetapi berkaitan pula dengan kekuasaan. Hassan dan Hill (1986) dalam 'Islamic Technology: An Illustrated History' menulis: "Islam menjadi kekuatan penggerak utama di balik revolusi ilmu pengetahuan modern, dan ilmuwan-ilmuwan Muslim memainkan peranan sentral terutama ketika kekuasaan Islam mencapai puncaknya, yang sekaligus mengilhami kemunculan Abad Pencerahan di Eropa." Dengan kekuasaan, pilihan-pilihan kebijakan dalam pengembangan sains-teknologi menjadi terbuka, sumber daya dapat dikelola dan dialokasikan secara efektif, dan sebaran karya-karya akademik serta penemuan hasil riset lebih mudah dilakukan.
Sejak masa keemasan Islam berakhir, sudah tak terbilang ilmuwan Barat bermunculan dan menghiasi panggung global. Sementara ilmuwan Muslim berkelas dunia bisa dihitung hanya dengan jari tangan sebelah. Di antara ratusan ilmuwan peraih Nobel yang didominasi oleh Eropa dan Amerika, tercatat hanya ada dua ilmuwan Muslim yakni Dr Abdus Salam dan Dr Ahmed Zewail.
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa ilmuwan Muslim tak mampu bangkit kembali setelah mengalami masa kemunduran. Paling kurang ada delapan faktor elementer yang menjadi akar masalah mengapa dunia Islam tertinggal jauh dalam pengembangan ilmu pengetahuan, justru setelah berpengalaman memimpin selama berabad-abad.
Faktor penghambat
Pertama, faktor bahasa. Masyarakat Islam dunia yang mayoritas berbahasa non-Inggris mengalami kendala teknis dalam mengakses sumber-sumber literatur ilmu pengetahuan, yang diperkirakan sekitar 80 persen ditulis dalam bahasa Inggris. Sedangkan literatur dalam bahasa lain seperti Arab, Parsi, Urdu, atau Indonesia sangat terbatas. Di dunia Muslim, bahasa Inggris hanya digunakan oleh kelompok elite terpelajar dan tidak menjadi bahasa pengantar di lembaga pendidikan.
Kedua, penidikan yang merupakan sarana paling efektif untuk melakukan pengenalan, pengkajian, dan pengembangan sains-teknologi mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Negara-negara Muslim memang memiliki banyak sekali madrasah dan universitas, namun lembaga-lembaga pendidikan tersebut lebih berkonsentrasi mengajarkan ilmu-ilmu keislaman dan sangat sedikit yang mengenalkan pendidikan sains-teknologi. Tak satu pun negara Muslim yang memiliki universitas atau pusat riset untuk pengembangan sains-teknologi berkelas dunia. Mesir memang punya Universitas Iskandariyah dengan perpustakannya yang sangat masyhur itu, namun ia tak mampu membangun tradisi pengembangan sains-teknologi canggih.
Ketiga faktor penelitian. Negara-negara Muslim sejatinya punya banyak sekali ilmuwan berbakat, namun kesempatan untuk mengembangkan karier profesional sebagai peneliti sangat langka. Banyak sarjana sains yang menyandang gelar PhD dari universitas Barat, setelah kembali ke negara asal tidak bisa menekuni bidang ilmu, mengembangkan keahlian, atau melakukan penelitian. Mereka justru bekerja sebagai birokrat di lembaga pemerintahan.
Keempat, faktor infrastruktur sains-teknologi. Ini masalah serius yang menyebabkan ilmuwan Muslim tak mampu bekerja maksimal dalam melakukan riset. Perpustakaan adalah jantung kehidupan seorang ilmuwan, sementara observatorium dan laboratorium adalah medium untuk melakukan eksplorasi dan eksperimentasi. Namun, pilar utama infrastruktur sains-teknologi tersebut tak tersedia secara memadai. Para ilmuwan Muslim memilih berdiaspora ke negara-negara Barat yang bukan saja menawarkan insentif menggiurkan, tetapi juga memiliki infrastruktur sains-teknologi canggih.
Kelima faktor sumber daya finansial. Kecuali di negara-negara kaya minyak, keterbatasan sumber daya finansial menjadi kendala utama bagi negara-negara Muslim untuk mengembangkan kegiatan penelitian bidang ilmu-ilmu dasar dan keteknikan. Mengingat mayoritas negara Muslim tergolong miskin, tak heran bila belanja publik untuk kegiatan penelitian sangat rendah, hanya sekitar 0,5 persen dari GDP. Bandingkan dengan Jepang, Amerika, Jerman, Inggris, dan negara-negara Barat lainnya yang membelanjakan dana publik paling sedikit 2,5 persen dari GDP.
Keenam, asosiasi profesional. Asosiasi profesional bagi kalangan ilmuwan berbagai disiplin keilmuan merupakan tulang punggung dan sponsor utama bagi aktivitas ilmiah seperti konferensi, penelitian, atau penerbitan jurnal. Asosiasi profesional ini penting untuk membangun tradisi akademik dan keilmuan.
Ketujuh, faktor kerja sama segi tiga: universitas, dunia industri, dan dunia usaha. Membangun kerja sama antara ketiga pihak ini merupakan strategi paling efektif untuk mempercepat proses alih teknologi dari pusat-pusat penelitian perguruan tinggi ke dunia industri dan dunia usaha. Mereka dapat bertindak selaku sponsor dengan konsesi memanfaatkan hasil-hasil riset, untuk mendukung kegiatan industri dan inovasi produk-produk baru. Kolaborasi ini juga penting untuk memantapkan peran lembaga research and development yang manjadi jantung bagi kemajuan perguruan tinggi.
Kedelapan, rezim otoriter dan pemerintahan tak kompeten. Rezim otoriter selalu mengekang kebebasan, termasuk kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. Rezim otoriter justru merasa nyaman dengan ketergantungan pada negara-negara maju ketimbang menciptakan teknologi secara mandiri. Negara-negara Muslim kaya pun melihat teknologi sebagai komoditas belaka yang bisa dibeli, sehingga tidak berikhtiar meningkatkan kemampuan dalam penelitian dan pengembangan di bidang tersebut. Berbagai unit penelitian di lembaga pemerintahan hanya dijadikan tempat untuk mengakomodasi political appointees. Celakanya, mereka bukan orang-orang yang punya minat di bidang penelitian, bahkan sama sekali tak punya kompetensi keilmuan dan kemahiran teknis.
Demikianlah, masalah-masalah mendasar yang dihadapi dunia Islam yang pernah mencatat masa gemilang dengan pencapaian cemerlang di bidang sains-teknologi dan memberi sumbangan besar pada peradaban modern. Islam memang menghargai sangat tinggi ilmu pengetahuan, yang di dalam Alquran disebut al hikmah. Menurut sebuah riwayat, al hikmah adalah barang berharga umat Islam yang hilang. Siapa saja yang menemukan keberadaanya, ia harus memungutnya kembali.
Ikhtisar
- Seiring dengan jatuhnya kekuasaan Islam, dunia sains-teknologi di dunia Islam juga terus meredup.
- Bersamaan dengan itu, ilmuwan Barat bermunculan ke panggung global.
- Setidaknya ada delapan faktor yang menjadi penghambat kemajuan sains di dunia Islam.
- Islam memberi tempat yang sangat tinggi terhadap ilmu pengetahuan.
No comments:
Post a Comment