Terorisme memang bukan masalah yang sederhana. Rumit, pelik, dan selalu saja menyisakan misteri bagi polisi yang menyidiknya, bahkan bagi anggota jaringannya sendiri.
Persoalan mengenai perpetaan atau struktur jaringan terorisme, misalnya, sebenarnya gambarannya masih belum terungkap secara persis dan utuh. Dari penangkapan tujuh tersangka kelompok buronan teroris Abu Dujana di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur beberapa waktu lalu, persoalan struktur itu sempat mencuat.
Struktur yang baru diketahui polisi itu adalah adanya gugus militer baru dalam jaringan Kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Namun, berdasarkan pemeriksaan yang hingga kini masih berlangsung terhadap ketujuh tersangka, gugus militer (askariy atau syariah) itu tampaknya hanyalah salah satu gugus kecil dalam struktur JI. Apalagi, divisi militer ini hanya membawahi cakupan area berskala kota (Solo, Semarang, Surabaya, dan Jakarta).
Area itulah yang disebut sebagai ishobah, yaitu wilayah terkecil, semacam rukun tetangga. Polisi mencurigai masih ada gugus serupa lainnya yang telah eksis atau tengah disiapkan. Kesemuanya itu mewadah dalam suatu jaringan yang jauh lebih besar dan kompleks.
Siapakah Sang Amir atau pemimpin besar yang aktif menjabat saat ini? Hal yang satu itu masih terlalu krusial untuk sementara ini. Namun, salah satu buronan bernama Zulkarnaen merupakan tokoh sepuh di JI yang sejak lama diperhitungkan polisi.
Soal amir, tak semua anggota jaringan bisa mengetahui. Mereka umumnya memegang prinsip Samina wa atho’na (mendengar dan mematuhi). Tak pantas banyak bertanya macam-macam soal mata rantai jaringan.
Jaringan yang kompleks itu pun kemudian memiliki berbagai hubungan tak langsung dengan organisasi atau kelompok lain (supporting groups). Bahkan, salah satu anggota jaringan yang menyusun Pedoman Umum Perjuangan Al-Jama’ah Al-Islamiyyah (PUPJI) memiliki hubungan darah dengan seorang tokoh sejarah yang cukup penting di Indonesia.
Pola operasi
Indikasi bahwa jaringan tersebut sebenarnya lebih kompleks tercermin pula dari sinyalemen lain soal adanya pola operasi yang berbeda-beda. Seorang perwira tinggi polisi dalam tim polisi antiteror menyebutkan, pola operasi JI yang kini tercium tersebut adalah operasi terpusat (centralized), terdesentralisasi (decentralized), dan di luar kontrol (uncontrolled). Operasi di bawah Dujana, misalnya, tergolong operasi yang sifatnya terpusat dan di bawah kontrol ketat Dujana. Hal itu sempat ditegaskan Dujana dalam suatu pertemuan di Bojonegoro, Jawa Timur, pasca-Bom Bali II (2005).
"Mulai sekarang, apa pun harus kontrol dari saya," begitu ucapan Dujana ketika itu menurut keterangan dari beberapa tersangka.
Polisi menyebutkan, serentetan operasi pengeboman di Poso selama ini, misalnya, merupakan bagian dari operasi yang terdesentralisasi dari JI. Sejumlah pendakwah dari Pulau Jawa, seperti Rian (alm), diduga salah satu tokoh dalam operasi semacam itu.
Memang awalnya persoalan di Poso "hanyalah" konflik horizontal berbau SARA. "Namun, belakangan mereka menyusupi, wilayah ini dipilih karena persentase penganut Islam dan Nasrani seimbang. Sangat cocok untuk jadi tempat operasi," tutur seorang perwira tinggi polisi tersebut.
Dalam salah satu perbincangan Kompas dengan Sarwo Edi Nugroho (40), misalnya, mantan guru matematika ini mengaku dia dan kelompoknya tidak terlalu menyetujui model operasi Noordin M Top. "Mbok ya kalau memilih target yang lebih bersih, lebih sesuai sasaran," ujar Edi menirukan ucapannya kepada Noordin saat bertemu di Solo, tahun 2003.
Edi bercerita, jawaban Noordin ketika itu hanyalah, "Ya, nanti dipertimbangkan." Sebab itulah, dia merasa satu selera dengan Dujana, yang merancang pembunuhan terhadap Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, yang dianggap musuh mereka dalam isu Poso.
Berbagai pengeboman besar di tahun-tahun yang lalu disinyalir polisi merupakan bagian dari operasi di luar kontrol. Artinya, hal itu tidak melulu harus didiskusikan secara intensif dengan pihak-pihak di kepengurusan pusat JI atau Majelis Markaziyah. Pola di luar kontrol inilah Noordin bermain. Sekalipun, buronan itu "pangkatnya" hanyalah selevel komandan regu dalam kemiliteran JI. Namun, dia berada dalam gugus yang berbeda dengan Dujana.
Soal jaringan, ada indikasi pula struktur lama yang telah diketahui sebenarnya belum benar-benar pupus. Dari keterangan beberapa tersangka kepada polisi disebutkan, seorang dokter bernama Agus saat ini menjabat ketua Mantiqi III (Sabah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Mindanao), yang pernah dijabat Nasir Abas. Agus, yang masih buron, juga sempat berkiprah dalam operasi di Poso.
Finansial
Bagaimanakah pendanaan jaringan terorisme itu saat ini? Hal ini pun masih menyisakan misteri. Salah satu periode "perjuangan" mereka, perampokan, merupakan salah satu jalan yang sempat ditempuh. Namun, selain itu, polisi sebenarnya juga mencurigai pendanaan terselubung melalui modus dana amal. Apalagi, orang yang beramal cenderung pasrah menyerahkan uangnya tanpa tahu lebih jauh penggunaannya.
Modus tersebut bukan tidak mungkin. Sutarjo alias Ayyasy (33) kepada Kompas sempat menuturkan hal itu. Saat pergi ke Mindanao, Filipina, di tahun 2000 untuk pelatihan kemiliteran, Sutarjo didanai dari sumbangan amal para jemaah suatu kelompok pengajian biasa di Solo. Pemimpin pengajian itulah yang memberikan himpunan sumbangan itu kepadanya, tanpa diketahui seluruh anggota pengajian. Sutarjo juga mengaku dia menjual motornya untuk tambahan uang saku.
Sekadar contoh, demi mencegah penyelewengan penggunaan dana amal, Inggris khusus membentuk komisi amal (charity commision) pasca-ledakan di London, Juli 2005. Dalam sebuah seminar South East Asia Regional Centre for Counter Terrorism (SEARCCT) di Malaysia yang dihadiri Polri, November 2006, masalah pendanaan gerakan terorisme menjadi sorotan. Pembentukan komisi amal itu bertujuan menjamin uang amal dari warga dimanfaatkan secara sepatutnya.
Di atas semua itu, sebenarnya masih juga tersisa suatu misteri utama. Siapa sajakah sebenarnya yang merancang strategi besar (grand strategy) dalam gerakan terorisme di Indonesia selama ini? Ratusan tersangka teroris yang sudah diringkus Polri hingga kini saja masih mengaku gelap. Boleh jadi karena para tersangka yang diringkus itu hanyalah anggota di level operasional. Kalau toh tergolong tangkapan besar, seperti Azahari, pasti tewas saat digerebek.
Sementara itu, tokoh krusial seperti Hambali masih saja disimpan oleh Amerika Serikat. Tanpa alasan jelas, AS belum juga memberi akses Polri untuk mewawancarai Hambali. Adapun Umar Al-Faruk belakangan diklaim tewas ditembak dalam pelariannya saat akan ditangkap lagi di Basrah, Irak, September 2006. Faruk sebelumnya ditangkap oleh Badan Intelijen AS (CIA) di Cijeruk, Bogor, tahun 2002 atas bantuan Badan Intelijen Negara.
Padahal, menurut Nasir Abas, Hambali pernah bercerita bahwa ustadz Abu Bakar Ba’asyir merupakan Amir JI. Keterangan itu hingga kini tak bisa dikonfirmasikan pihak Polri sendiri kepada Hambali. Alhasil, informasi itu terkesan sumir karena hanya sebatas keterangan tak langsung Nasir versi Hambali, yang masih disimpan AS.
Tak heran, beragam analisa muncul seputar isu terorisme. Muncul tuduhan berbagai kalangan, Hambali dan Faruk sebenarnya tak lain dari agen binaan AS. Pertanyaannya, benarkah jaringan terorisme yang dipublikasikan selama ini, termasuk di Indonesia, sejati adanya? Kapan semua itu terungkap? Jawabnya mungkin "May", maksudnya menyitir iklan: maybe yes, maybe no.... (WER/BIM/WAK/MAR)
No comments:
Post a Comment