Monday, May 21, 2007

Pencerahan Islam

Oleh : Haedar Nashir

Islam memiliki tradisi pencerahan yang kuat. Kehadiran Islam tiada lain untuk pencerahan kehidupan, "lituhrija al-nas min al-dhulumat ila al-nur", membebaskan manusia dari "kegelapan" (kejahiliyahan) kepada "cahaya" (kebenaran, al-Islam). Karena tradisi pencerahan itulah maka Islam berhasil menjadi kekuatan peradaban, yang menyebar mula-mula dari jazirah Arabia kemudian ke seluruh penjuru dunia. Islam kemudian menjadi rahmatan lil-'alamin. Itulah tradisi agung peradaban profetik. Peradaban berbasis risalah kenabian.

Pencerahan (tanwir) merupakan gerak perubahan profetik. Gerak perubahan berbasis nilai-nilai kerasulan (Wahyu Allah) sesuai dengan semangat "ma wa arsalna-ka illa rahmatan lil-'alamin". Suatu gerak dinamis Islam yang hadir secara melintasi untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam sebagai agama kehidupan. Gerak Islam untuk menghadirkan Islam yang luas dan berkemajuan. Gerak Islam sebagai kekuatan peradaban, bukan Islam yang anti-kemajuan dan anti-peradaban. Bukan wajah Islam yang maya, tampak murni dari luar tapi tidak otentik dalam isi dan perilaku. Bukan Islam sekadar ornamen nan elok dipandang, sekaligus banyak menyembunyikan agenda politik. Tapi Islam yang sungguh-sungguh otentik, sekaligus mencerahkan kehidupan.

Islam karena gerak pencerahannya telah menghadirkan peradaban yang agung. Selama sekitar tiga abad hingga kejatuhannya di Baghdad tahun 1258 Islam telah hadir menjadi kekuatan sejarah baru dalam peradaban dunia. Di era itulah lahir banyak perubahan yang spektakuler dari rahim Islam. Kemajuan di bidang pemikiran filsafat (kalam), ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga ke format budaya baru yang berbasis akhlaq dan kemoderenan. Karya-karya dan nama Ibn Rusyd, Ibn Sina, Al-Ghazali, Al-Farabi, Al-Hawarizmi, Al-Kindi, Ibn Khaldun, dan pemikir-pemikir besar Islam lainnya menghiasi perkembangan peradaban yang spektakuler itu. Pada kala itu Barat tengah tertidur lelap dalam buaian teosentrisme dan alam pikiran yang jumud, bahkan gelap gulita.

Masa kejayaan Islam yang mencengangkan itu, terutama dalam rentang abad tengah (9 s/d 10 M), dikatakan oleh Kraemer sebagai the renaissance of Islam. Di situ lahir kebangkitan intelektual dan kultural Islam yang sepektakuler. Terjadi revolusi pemikiran dan budaya Islam yang bercorak peradaban baru, the new civilization. Islam telah menjadi peradaban baru, bukan saja menyambung matarantai peradaban sebelumnya (Yunani, Babylon/Kaldea, Persia) tetapi juga menampilkan corak baru yang khas Islam. Islam yang menjadi kosmopolit, humanistik, kultural, dan saintifik yang memperoleh puncaknya pada era 'Abasiyyah itu hingga Islam. Setelah itu Islam mengalami kemunduran, bahkan kejatuhan. Ketika peradaban Islam surut, Barat modern terbit dari wilayah Eropa kemudian Amerika, yang melahirkan peradaban baru hingga kini.

Sebenarnya kelahiran peradaban modern Barat ini juga dimulai dari pencerahan (rennaisance, aufklarung). Hanya saja, gerakan pencerahan di Barat coraknya selain humanisme juga sekularisme. Barat lalu tampil dengan kejayaan modern yang ditandai pula oleh ketinggian ilmu pengetahuan dan teknologi serta pemikiran, tetapi sekaligus mengusung humanisme-sekuler. Lahir pula nihilisme dan ateisme Barat, yang membuahkan krisis moral dan spiritual yang kronis.

Barat lari ke pilihan humanisme-sekuler sebagai bentuk pemberontakan sekaligus jalan lain dari teosentrisme agama abad tengah, yang selain melahirkan hegemoni gereja yang luar biasa monolitik dan anti-humanisme, pada saat yang sama menampilkan kekuasaan politik yang despotik atas nama Tuhan. Dari sini renaisans Barat menjadi jalan ekstrem pendulum dari teosentrisme ke antroposentrisme yang sama-sama naif, sehingga di belakang hari melahirkan banyak paradoks dalam peradaban modern yang ditampilkannya. Namun dalam gerakan ilmu pengetahuan dan pemikiran, renaisans Barat juga ada sisi lain, yakni lahirnya tardisi filsafat dan ilmu sosial kritis, yang mensintesiskan pemikiran humanisme dan gerak emansipatoris.

Kant memperkenalkan saphere aude, filsafat pencerahan, yang kemudian dilanjutkan oleh para pemikir kritis seperti Habbermas, Horkaimer, Ardono, dan para pelanjutnya yang melahirkan gerakan praksis emansipatoris yang menyertai perkembangan ilmu-ilmu sosial kritis untuk pencerahan. Sebuah gerakan the new-project of enlightenment. Proyek baru pencerahan. Jika dalam tradisi Barat pencerahan merupakan jalan perubahan (hingga diskontinyuitas), maka dalam tradisi Islam pencerahan merupakan jalan persambungan antara warisan klasik dan kontemporer yang dinamis. Tradisi ini memperoleh tambatan dalam kearifan al-muhafadhat 'ala al-qadim al-shalih, al-akhdz bi al-jadid al-ashlah. Mengambil warisan lama yang agung dan mengembangkan tradisi baru yang lebih agung lagi. Dari tradisi ini selalu ada perubahan sekaligus persambungan dalam membangun peradaban Islam, kendati selalu pula ada bias atau distorsi dalam bagian-bagian tertentu yang melahirkan madzhab.

Kekuatan Islam memang terletak pada susbtansi ajarannya, yang sejatinya memang bercorak otentik (murni, asli) sekaligus modern atau berkemajuan. Karena itu, sejak kelahirannya Islam yang dibawa Nabi akhir zaman pun juga melakukan pencerahan sebagai gerak yang menyatu dalam risalah rahmatan lil-'alamin. Islam melakukan devaluasi yang revolusioner terhadap sangkar besi jahiliyah, yang melahirkan gerak takhrij min al-dzulumat ila al-nur. Itulah substansi sekaligus gerak pencerahan Islam. Membebaskan manusia dari kegelapan (dalam makna yang seluas-luasnya) ke kehidupan yang bercahaya (dalam makna yang juga luas seluas dimensi ajaran Islam). Islam yang membebaskan dan mencerahkan.

Sejak kelahirannya, Islam sungguh menjadi agama pencerahan. Agama yang modern. Agama kehidupan. Din Syamsuddin dalam Tanwir Muhammadiyah menyebutnya sebagai agama kemajuan (din al-hadarah). Maka tidak mengherankan jika setelah penyebarannya yang spektakuler setelah zaman Nabi dan kekhalifahan agung, Islam kemudian berkembang pesat dan melahirkan peradaban baru umat manusia yang luar biasa maju. Islam menjadi agama sekaligus peradaban yang rahmatan lil-'alamin. Islam tampil dalam kesejatiannya yang otentik dan berkemajuan. Islam menjadi agama kosmopolitan bukan hanya di jazirah Arabia tetapi juga merambah ke Spanyol dan Asia Selatan, Timur, dan Tenggara.

Pasca kejatuhan Baghdad sebenarnya ada gerak pencerahan. Ketika Barat muncul menjadi peradaban dunia baru sejak modernisasi, di era itu lahirlah geliat pencerahan di dunia Islam. Di masa krisis itu lahir gerakan "tajdid fi al-Islam" yang mengilhami kebangkitan Islam. Ibn Taimiyyah, Muhammad bin Abd al-Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, Ahmad Dahlan, dan lain-lain hadir sebagai sosok reformis atau pembaru Islam. Di Indonesia lahir pula gerakan pembaruan yang melahirkan gerakan kaum muda dan modernisme Islam. Gerak pencerahan itu bagaikan bola salju, kendati di belakang hari cenderung mengalami bias dan dimaknai sebagai gerak pemurnian semata. Pemurnian minus pembaruan.

Pemurnian ajaran Islam merupakan keniscayaan. Islam sebagai wahyu Allah yang dibawa para Rasul memiliki keunggulan dan kesempurnan dalam kemurnian ajarannya. Islam agama yang hanif, yang otentik. Islam yalu wala yu'la 'alaihi. Islam sebagai agama yang sempurna sebagaimana wahyu akhir zaman yang diturunkan kepada umat manusia (QS Al-Maidah/5: 3). Namun gerak pemurnian Islam di belakang hari dan dalam bagian generasi Muslim yang serba terbatas, telah melahirkan distorsi. Islam yang rigid, tertutup, dan anti kemajuan. Sekaligus melahirkan generasi yang cenderung gampang marah dan tidak jarang serba politis atas nama agama. Laju pemurnian akhirnya kehilangan khazanah yang luas, yang mencerahkan.

Kini umat Islam hidup di tengah banyak persimpangan jalan peradaban. Pertarungan baru hadir seolah memutar film klasik, gerak teosentrisme versus antroposentrisme yang naif. Sementara hegemoni kapitalisme global melalui rezim neo-liberalisme raksasa kian menancapkan kekuasaannya ke seluruh lini kehidupan sejagad kehidupan. Budaya iderawi yang serba menghambakan diri pada materi, kuasa, ego, dan nafsu bilogis kian mekar. Sedangkan himpitan ekonomi-politik juga telah memarjinalkan umat Islam ke situasi dhua'afa dan mustadh'afin yang terkoyak di semua lini. Situasi paradoks seperti itu kadang menampilkan perilaku Muslim yang juga antagonistik. Serba ingin islami pada kulit luar, minus substansi dan fungsi yang kaya. Kadang kehilangan kejujuran yang alami, sekaligus mengandung politisasi "nuansa islami" di ruang publik yang beraroma hipokrisi.

Jika tak pandai-pandai mencari solusi yang cerdas dan kokoh, situasi sosiologis yang penuh hegemoni, goadaan, dan himpitan semacam itu akan melahirkan ekstremitas baru dalam bangunan umat Islam. Islam menjadi serba teosentristik ala Barat abad tengah atau lari ke antroposentrisme yang naif. Gerak yang beraroma liberalisme-sekuler bertabrakan secara niscaya dengan laju pemurnian yang anti-kemajuan, tertutup, sekaligus mimpi kuasa. Itulah pentingnya pencerahan Islam. Islam yang lebih ke tengah, yang diwarnai gerak pemurnian yang penuh mozaik dan nirpamrih kuasa, sekaligus menawarkan jalan peradaban baru. Pencerahan menuju Islam yang berkemajuan.

No comments: