Mohamad Guntur Romli
Terorisme tidak akan pernah bisa ditumpas hanya dengan mengandalkan kekuasaan senjata. Dalam beberapa waktu belakangan ini kita menyaksikan kerja keras polisi untuk membongkar jaringan dan menangkap pelaku terorisme di Indonesia; mengendus keberadaan Noordin M Top, dan berusaha mencokok Abu Dujana yang akhirnya bisa lolos.
Namun, strategi tersebut, melawan terorisme dengan kekuatan militer, ibarat main tebang batang pohon, tapi tak sampai mencerabut akar-akarnya. Pasalnya, aksi- aksi teror yang melahirkan kekerasan fisik di mana-mana berakar pada sebuah ideologi yang mengimani kekerasan dan kehancuran. Dan, ideologi tak bisa ditembus butir-butir peluru.
Dalam ranah ini, melawan ideologi dan terorisme pemikiran amatlah penting dan mendesak. Mengingat terorisme pemikiran adalah awal dari terorisme fisik, dan untuk melawan terorisme pemikiran bukanlah dengan cara kekerasan pula. Kita telah berhadapan dengan bentuk terorisme yang jauh lebih besar, laten, dan mengakar kuat dalam pikiran dan hati pemeluknya. Ada kehendak yang sangat buas dan liar, namun tak bisa diberantas oleh kecanggihan Detasemen 88, juga oleh militer Amerika Serikat sekalipun.
Sebelum peristiwa 11 September 2001, para analis keamanan di dunia terlalu percaya diri dengan mengeluarkan peringatan akan datang ancaman dari jaringan terorisme internasional yang akan menggunakan senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction/WMD), baik berupa senjata biologis, kimia, maupun nuklir. Ternyata menara kembar WTC di New York dihancurkan oleh pesawat penerbangan sipil belaka.
Kesimpulannya, terorisme tidak ada hubungannya dengan soal kecanggihan senjata. Kawanan terorisme tidak memerlukan WMD untuk menciptakan kehancuran dan ketakutan yang meluas sekaligus berpengaruh bagi masyarakat dunia. Demikian juga untuk memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya tak hanya cukup dengan kemutakhiran senjata.
Perubahan JI
Istilah "terorisme pemikiran" bukanlah bikinan saya, namun saya kutip dari Syekh Najih Ibrahim dan Syekh Ali Muhammad Ali Syarif, dua penulis buku Hurmatu al-Ghuluw fi al-Dîn wa Takfîr al-Muslimîn (Larangan Berlebih-lebihan dalam Beragama dan Mengafirkan Umat Islam). Di halaman 28, dua syekh ini menulis, inna hadzâ al-irhâb al-fikrî asyaddu takhwifan wa tahdîdan min al-irhâb al-hissî (sesungguhnya terorisme pemikiran lebih menakutkan dan mengancam daripada terorisme fisik).
Pada hemat saya, buku dan peringatan Syekh Najih dan Ali Muhammad Syarif ini amatlah penting bagi kita, yang saat ini tak hanya menghadapi ancaman terulangnya kembali terorisme fisik, namun juga akar-akar ideologi terorisme yang mampu membentuk potensi apa pun sebagai kekuatan teror yang mahadahsyat dalam masyarakat.
Syekh Najih Ibrahim dan Ali Muhammad Syarif bukanlah tokoh isapan jempol. Mereka pernah melahirkan ideologi terorisme yang saat ini masih ditakuti di dunia, dan juga melakukan aksi-aksi kekerasan meskipun pada akhirnya mengalami perubahan dan pertobatan.
Syekh Najih adalah salah seorang tokoh pendiri Jamaah Islamiyah (JI) di Mesir. Kelompok JI ini bersama organisasi lain, Tandzim Jihad, mulai dikenal pada tahun 1970-an di Mesir dan menjadi fenomena dunia pada tahun 1980-an hingga 1990-an. Kemasyhuran JI Mesir memuncak saat berhasil membunuh Presiden Mesir Anwar Sadat pada Oktober 1981, sekaligus upaya kudeta bersenjata meski gagal. Kegagalan itu membuat tokoh dan pengikut JI dan Tandzim Jihad dijebloskan ke penjara, tidak sedikit dari mereka dihukum mati.
Namun, pada 1997, dari balik jeruji penjara, seolah-olah mendapat kekuatan pencerahan, tokoh-tokoh JI bertaubat dari kekerasan. Mereka mengubah ideologi kematian yang mereka anut. Peristiwa itu dikenal sebagai Mubâdarah Waqf al-'Unf (Inisiatif Penghentian Kekerasan). Sejak itu, usaha mereka membawa dampak yang signifikan bagi para pengikut JI yang masih berkeliaran di Mesir dan negara-negara lain untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan. Peristiwa itu menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok Islam garis keras untuk becermin dari usaha yang mereka lakukan.
Pada tahun 1998, kelompok ini juga menolak ajakan Bin Laden dan Ayman Al-Dlawahiri untuk bergabung dengan al-Jabhah al-Islâmiyah al-'Âlamiyah li Qitâl Amrîkiyîn wa al-Yahûd wa al-Shalîbiyîn (Fron Islam Internasional untuk Memerangi Amerika, Yahudi, dan kaum Salib) yang menjadi cikal bakal jaringan terorisme internasional Tandzim al-Qaidah. Ayman adalah anggota Tandzim al-Jihad Mesir sebelum ia pindah ke Afganistan dan bertemu Bin Laden. Hingga kini kelompok JI Mesir memproklamirkan diri sebagai lawan yang memerangi strategi dan aksi teror yang dilakukan Tandzim al-Qaidah.
Menguliti ideologi teror
Namun, peristiwa penghentian kekerasan itu baru tersiar luas dan efektif pada tahun 2001, setelah para tokoh JI menerbitkan buku-buku yang berisi perubahan ideologi mereka. Melalui buku-buku itu, mereka aktif mengobarkan perang melawan terorisme pemikiran.
Mereka menguliti tabir-tabir gelap dari ideologi terorisme. Kini, melalui buku-buku karya mereka yang jumlahnya sudah puluhan, melalui aktivitas dakwah dan siaran mereka melalui sebuah situs www.egyptianislamicgroup.com, kelompok JI Mesir menempati garda terdepan menghadapi gelombang terorisme yang mendunia.
Apa motif yang menyebabkan mereka melakukan aksi-aksi kekerasan tersebut? Syekh Najih menjawab sesuai dengan pengalamannya sendiri, "ideologi dan terorisme pemikiran".
Bagi Syekh Najih, ada beberapa prinsip berbahaya dari ideologi teroris tersebut, yaitu, pertama, fanatisme terhadap pendapatnya sendiri, dan menolak pendapat yang lain. Pola pikir yang keras tidak jarang berujung pada pemaksaan pemahamannya dengan cara kekerasan pula.
Kedua, memahami teks-teks agama secara harfiah dan tidak bisa menyelami makna dan hikmahnya. Mereka dengan mudah, misalnya, menyantap ayat-ayat perang dalam Al-Quran tanpa bisa menarik tujuan dan sebab- sebab adanya perang tersebut.
Ketiga, berlebih-lebihan dalam pengharaman. Dalam sudut pandangan mereka, segala sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam syariat dituding haram dan kafir.
Keempat, mudah mengafirkan. Menurut Syekh Najih, pilahan ideologi keempat inilah yang amat berbahaya karena sebagai awal dari kekerasan fisik. Bila seseorang telah berani berfatwa orang lain kafir, murtad, dan sesat, maka sama saja dengan memperbolehkan orang lain melakukan kekerasan terhadap dirinya. Di sinilah letak bahaya pengafiran dan penyesatan.
Pengalaman dan perubahan yang menimpa tokoh dan pengikut JI Mesir itu, bagi saya, bisa dijadikan sebagai bukti nyata dari kekuatan ideologi. Jaringan dan aksi terorisme akan lenyap bila ideologi yang menopangnya retak dan rontok. Di sinilah yang perlu menjadi pusat perhatian ke depan, memberantas terorisme tak hanya menggunakan kekuatan senjata, namun langsung kepada jantungnya: ideologi dan pemikiran terorisme itu sendiri.
Inilah yang lebih mengkhawatirkan daripada terorisme fisik, yang dengan mudah ditangkap dengan senjata. Sementara ideologi dan terorisme pemikiran tidak bisa dibendung oleh apa pun. Saat ini pun ia jauh merambah ke semua lini kehidupan kita, menembus lembaga-lembaga pendidikan, pusat-pusat dakwah. Tanpa disadari namun pasti, dunia akademisi, politisi, dan tokoh agama panutan masyarakat bisa terjangkit oleh virus ideologi terorisme tersebut.
Dan, usaha melawan terorisme semakin berat dan semakin melelahkan. Namun kita tidak bisa menghindar, hanya bisa terus memukul genderang perang terhadap terorisme.
No comments:
Post a Comment