Tuhan di Luar, Tuhan di Dalam
Bagi banyak orang, Tuhan ada di luar. Orang sering merujuk tempat Tuhan sebagai di atas, entah di mana. "Terserah yang di atas" adalah ungkapan yang biasa diucapkan saat orang menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.
Tuhan yang diagungkan tidak mungkin ada di bawah dan lebih rendah dari manusia. Banyak agama meyakini, tempat Tuhan yang "di atas" itu. Musa menemui Tuhan di puncak gunung di Sinai. Setelah disalib, Yesus diyakini "diangkat ke langit". Nabi Muhammad pernah dipanggil "naik" ke tempat Tuhan lalu menerima perintah untuk umatnya.
Tuhan dimanipulasi
Karena Tuhan ada di luar diri kita, banyak orang merasa dekat hanya saat mengunjungi-Nya, saat bersembahyang di masjid, gereja, pura, atau vihara. Pada saat itulah manusia merasa telah mendekat kepada Tuhan dan berharap Tuhan akan mengingat kehadirannya. Selepas itu, bahkan tidak jarang baru beberapa langkah keluar dari tempat ibadah, ia sudah lupa akan Tuhan. Tuhan sudah ditinggalkan di masjid, gereja, pura, atau vihara. Seperti gurauan teman saya orang Filipina, "On Sunday we are true Catholics. On the other days, we are true Philippinos". Pada hari lain kembali mereka senang bertaruh menyabung ayam dan bermabuk-mabukan.
Konsep Tuhan jauh di atas juga membuat Tuhan seperti orang lain yang dapat dimanipulasi, ditipu, atau disuap. Banyak penganjur agama yang mengatasnamakan Tuhan dalam meminta upeti, fasilitas, atau layanan pribadi kepada umatnya yang miskin. Mereka menjual Tuhan untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri.
Itulah yang menyebabkan Karl Marx menuduh agama sebagai candu rakyat. Rakyat miskin dicekoki, mereka harus lebih mementingkan Tuhan daripada diri sendiri, tetapi tidak satu pun yang mengangkat kemiskinan. Rakyat diajari, kemiskinan adalah takdir Tuhan maka banyaklah sembahyang dan beramal agar tertolong dari kemiskinan.
Tuhan yang di luar juga bisa ditipu. Setelah manusia mencuri atau korupsi, ia akan merasa sudah berbuat amal atau menebus dosa jika sebagian hasil korupsinya disumbangkan untuk membangun tempat ibadah atau pergi haji. Secara spiritual ia telah melakukan pencucian uang, menyuap Tuhan, dan mencari pujian dari sesama manusia. Bagi yang menganggap Tuhan ada di luar, Tuhan tidak tahu kalau ia korupsi atau menipu dan hanya tahu ia pergi haji atau menyumbang pembangunan rumah ibadah.
Lebih parah lagi, selain menganggap Tuhan ada di atas, manusia lalu mengangkat diri sebagai wakil Tuhan di bumi dan berhak menafsirkan perintah Tuhan menurut diri sendiri. Ia juga merasa berhak mewakili Tuhan untuk menentukan siapa yang berdosa, siapa yang kafir, dan siapa yang murtad. Selain menjadi jaksa, ia juga merasa berhak menjadi hakim lalu menjatuhkan hukuman bagi mereka yang dianggap menyimpang. Dulu ada nabi-nabi yang diyakini dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan dan menjadi wakil Tuhan di bumi. Kini tidak ada lagi nabi. Untuk itu manusia mengangkat dirinya sendiri sebagai yang berhak mewakili Tuhan. Ia lalu menganggap ucapannya adalah ucapan Tuhan. Celakanya, orang-orang yang merasa mewakili Tuhan tidak jarang saling berebut pengaruh agar dialah yang dianggap paling benar. Jika perebutan secara adu argumentasi tidak berhasil, adu otot pun terjadi. Kekuatan fisik, jika perlu melalui teror, ditonjolkan. Negara dan polisi dibuat takut menindak karena melawan mereka identik melawan Tuhan.
Tuhan di dalam
Sudah sejak abad ke-18, para pakar filsafat berdebat tentang keadaan Tuhan. Ada yang menganggap Tuhan tak ada, ada yang berpendapat Tuhan ada tetapi tidak operasional lagi (kaum Deist), bahkan ada yang menganggap Tuhan sudah mati (antara lain Nietzsche). Kaum Deist, seperti kebanyakan penganut agama masa kini, menganggap Tuhan ada jauh di atas sana. Sepanjang ia ada jauh di sana, biarkan Ia dengan kesenangan-Nya sendiri, atau buatlah agar Ia senang di tempat-Nya (Deist position kept God happily in His place).
Yang agak berbeda adalah Immanuel Kant (1724-1804). Ia mengaku percaya ada Tuhan, tetapi Tuhan diyakini ada bukan karena segala sesuatu harus ada awalnya. Bagi Kant, Tuhan dianggap sebagai pembuat hukum moralitas tertinggi. Manusia yang baik adalah yang mematuhi hukum Tuhan. Hanya saja Kant tidak menganggap, Tuhan tidak ada di luar, tetapi di dalam diri kita (God is not a being outside me...Only God in me, about me, and over me). Ia memperkenalkan teori Categorical Imperative: Kita wajib berbuat baik dan benar karena dorongan dari diri sendiri, karena ada Tuhan pembuat hukum di dalam diri kita. Tuhan dalam diri kita juga tidak dapat ditipu, dimanipulasikan, atau dijual untuk kepentingan kita.
Memahami konsep bahwa Tuhan ada dalam diri sesuai ajaran Kant akan sulit bagi kebanyakan kita yang sudah terbiasa menempatkan Tuhan ada di luar diri kita, jauh di atas sana. Kita sudah menjadi penganut Deist yang membiarkan Tuhan berada jauh di sana, lalu kita wakili kehadiran-Nya di dunia, baik sebagai jaksa maupun hakim bagi manusia lain. Sementara kita sendiri tetap berbuat semau kita dan hanya sesekali menghadap-Nya, sebagai basa-basi rutin.
Manusia yang menganggap Tuhan jauh di atas tidak merasa bersalah saat ia korupsi, mencuri, atau merugikan orang lain. Tuhan yang jauh akan diam saja, atau senang, asal sesudah itu manusia bersembahyang, pergi haji, atau membangun rumah ibadah. Beda dengan konsep Kant yang mengatakan kita harus selalu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat karena Tuhan ada di dalam diri kita.
No comments:
Post a Comment