Kartini adalah pejuang emansipagi bagi perempuan. Namun, Kartini juga korban kekerasan. Bagaimana memahami sosok Kartini ini, berikut petikan wawancara Kajian Islam Utan Kayu dengan Eva Kusuma Sundari, aktivis perempuan dan anggota DPR di Kantor Berita Radio (KBR) 68H, Jakarta.
Bagaimana Anda memahami sosok Kartini?
Dia adalah humanis dan tokoh perempuan nasionalis pertama. Nuraninya digerakkan ketika melihat dikotomi-dikotomi kemanusiaan di masyarakat. Surat-surat yang dia tulis menampilkan sosok Kartini yang gelisah. Kenapa inlandeer (pribumi) mempunyai nasib bodoh, miskin, dan sebagainya. Sementara yang white colour people, yang kolonial kok nasibnya baik.
Demikian juga kenapa harus ada kelas laki-laki dan perempuan: laki-laki bisa sekolah, tidak diharuskan kawin muda, tidak dipingit, dipoligami sebagaimana perempuan di zamannya. Sebagai tokoh humanis, dia melihat problem-problem kemanusiaan. Misalnya, kaum perempuan waktu itu mendapatkan lapis-lapis kelas marginalisasi yang bersusun-susun tebal.
Dia adalah inlandeer, dalam lingkungan inlandeer sendiri ada diskriminasi dari pihak laki-laki karena masyarakat kita masih feodal dan patriarkis. Saya melihat Kartini bukan sekadar sebagai tokoh feminis dan emansipasitoris. Lebih dari itu dia ialah tokoh kemanusiaan dan kebangsaan.
Apa kesadaran kebangsaan itu muncul ketika dia menyadari sebagai pribumi?
Iya. Sebagai pribumi kenapa tidak punya hak apa-apa atas buminya sendiri. Kenapa tidak mempunyai kekuasaan atas tanah sendiri. Kenapa harus membayar pajak pada bangsa penjajah. Kenapa tidak memiliki akses yang luas terhadap pendidikan.
Kenapa pula pendidikan hanya diperuntukkan pada kelas ningkrat, sementara rakyat jelata tidak. Itulah kegelisahan-kegelisahan dia. Isu-isu yang dia kemukakan sangat manusiawi.
Sebagai perempuan, bagaimana Anda melihat sosok Kartini?
Kontribusi terbesar dia membuka kesadaran kita. Kesadaran perjuangan terhadap keadilan, kesataraan, pandangan serta tindakan yang manusiawi, dan sebagainya.
Sayang cara kita memperingati Hari Kartini seperti kembali ke belakang, seremonial. Memuja-muja Kartini. Buat apa kita muja-muja dia? Dia tidak perlu dipuja-puja. Yang penting kan tindak lanjutnya. Sekarang tantangan kita ialah apa yang akan kita lakukan setelah kesadaran itu dibuka Kartini.
Terutama terhadap kaum perempuan sendiri ya?
Ya, tentang status perempuan, tentang nasib, dan implikasi status itu terhadap ekonomi, politik, dan hak akan pendidikan. Sebetulnya contoh dari Kartini yang mampu kita teladani sekarang adalah dia yang berani melawan hegemoni yang dicoba ditanamkan oleh lingkungannya.
Dalam buku yang ditulis Pramudya Ananta Toer Panggil Aku Kartini Saja, menunjukkan Kartini tidak mau dianggap sebagai seorang bangsawan, sebagai raden ajeng. Mengapa dia melawan tradisi itu?
Berarti dia sadar gelar bangsawan hanya tipuan?
Ya. Dia sadar hal itu. Dia dilabeli sebagai raden ajeng, tapi dia tidak pernah mendapatkan hak istimewa. Dia malah dikawinkan paksa oleh amtenaar (bupati).
Jadi apa gunanya label ini? Yang ada malah membatasi kebebasan dan keinginan dia untuk sekolah ke Belanda dan Betawi. Seperti halnya perempun sekarang, dilabeli tiang bangsa, dilabeli pendidik utama, tapi nasibnya kok jelek banget. Ini warisan pendidikan kita yang tidak benar sampai sekarang.
Namun sebagai bangsawan, Kartini mendapat kesempatan pendidikan yang tidak dirasakan kalangan jelata?
Ya. Dia mendapatkan hak itu, tapi tidak efektif kan? Karena dia dipaksa kawin.
Pram menyebut Kartini lepas dari jebakan provinsialisme ketika memberikan beasiswa kepada Agus Salim yang dari Sumatera Barat.
Betul sekali. Sikap Kartini itu bisa menjadi kritik terhadap kesadaran kebangsaan yang menipis saat ini. Sebab, banyak dari kita yang terjebak pada isu kedaerahan.
Kartini lahir dalam keluarga yang berpoligami. Setelah ibunya melahirkan, dia harus pisah, karena ibunya bukan ningrat. Bagaimana Anda melihat kehidupan sosok Kartini seperti itu?
Tentu saya sedih. Kartini korban dari praktik dominasi dan marginalisasi yang berlapis-lapis, baik sebagai anak maupun perempuan dewasa. Proses kreatif Kartini dan rasa kemanusiaannya berpangkal dari kekerasan yang dialami sebagai anak. Hidup Kartini menunjukkan pada kita bahwa dalam masyarakat feodal dan patriarkhis, semua social cost-nya yang menanggung adalah perempuan dan anak-anak.
Pada zaman Kartini, poligami itu didasarkan doktrin agama Islam. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya tidak rela kalau Islam direduksi maknanya yang membawa keadilan dan kebebasan kepada makna yang sesungguhnya mengerdilkan Islam itu sendiri. Islam menjadi norak.
Padahal, Islam itu menjamin kesetaraan. Di hadapan Tuhan itu hanya takwanya yang membedakan. Tidak ada yang berbasis gender. Muslim itu syarat pertamanya harus cerdas, jangan taklid.
Ada tudingan ide-ide Kartini yang sangat maju karena dia lebih terpengaruh oleh ide-ide Belanda, bukan dari Nusantara. Tanggapan Anda?
Saya tidak setuju ide tentang egalitarianisme atau humanisme itu selalu datang dari Barat. Di Indonesia, dalam Islam, misalnya, aspek-aspek itu ada. Hanya tidak pernah dielaborasi.
Agama dari dulu sampai saat ini dijadikan alat tunggangan untuk dominasi. Tidak bisa mendominasi orang lain, maka istri dan anak-anaknya yang menjadi korban. Untuk mengelaborasi aspek-aspek kesetaraan dan humanisme itu, harus ada demokratisasi dalam Islam.
Kita hanya telat, bukan tidak punya. Tapi, kalau cara-cara keislaman masih memosisikan perempuan di kelas dua, perempuan hanya objek, komoditas, hanya pabrik untuk anak, berarti kita melanjutkan zaman jahiliyah yang tidak ada kemajuannya bagi peradaban.
Itu menunjukkan ide-ide Kartini berbasis pada dirinya sendiri dan bukan karena pengaruh Barat?
Sama sekali tidak. Basisnya pengalaman dan pengamatan dia. Bagaimana sensitivitasnya mampu merasakan kejanggalan-kejanggalan yang dialami sendiri, seperti dipingit, dikawinkan muda, dan sebagainya.
Kartini mengkritik feodalisme Jawa, tanggapan Anda?
Jawa itu stratifikasi sosialnya juga banyak. Kalau saya ditanya, Jawa Pesisir sangat egaliter, kebetulan Kartini hidup di masyarakat Jawa yang penuh tipu-tipu dan norma-norma yang membelenggu.
Jadi, norma Jawa itu seperti Islam sangat beragam, dan bergantung kita mau pilih yang mana. Contohnya dari doktrin Islam itu mau diambil yang menjustifikasi poligami atau yang membebaskan perempuan.
Seperti halnya Soeharto, mengambil nilai-nilai Jawa yang bisa untuk mendominasi dan melanggengkan kekuasaan. Tapi, ada juga nilai-nilai Jawa yang digunakan untuk pembangkangan atau pemberontakan terhadap dominasi.
Kartini tak hidup pada lingkungan agama yang kuat, namun mampu memahami makna agama dengan baik. Mengapa hal itu terjadi pada Kartini?
Kartini sampai pada tingkat substansi, bukan lagi pada bungkus. Misalnya, substansi agama itu adalah welfare (kesejahteraan). Agama itu mendorong perempuan agar tidak bodoh dan miskin.
Misal lain, mencuri dan korupsi itu dilarang. Di semua agama ajaran itu ada. Karena itu, agama adalah sumber perilaku kita, bukan sebagai alat propaganda untuk mencari kekuasaan.
Orang beragama membawa misi kebaikan di dunia. Di setiap agama, potensi itu ada. Tapi, kacaunya tiap agama kan ada saja yang menggunakan untuk mencari kekuasaan sehingga kerusakan yang dia timbulkan. (M. Guntur Romli)
Bagaimana Anda memahami sosok Kartini?
Dia adalah humanis dan tokoh perempuan nasionalis pertama. Nuraninya digerakkan ketika melihat dikotomi-dikotomi kemanusiaan di masyarakat. Surat-surat yang dia tulis menampilkan sosok Kartini yang gelisah. Kenapa inlandeer (pribumi) mempunyai nasib bodoh, miskin, dan sebagainya. Sementara yang white colour people, yang kolonial kok nasibnya baik.
Demikian juga kenapa harus ada kelas laki-laki dan perempuan: laki-laki bisa sekolah, tidak diharuskan kawin muda, tidak dipingit, dipoligami sebagaimana perempuan di zamannya. Sebagai tokoh humanis, dia melihat problem-problem kemanusiaan. Misalnya, kaum perempuan waktu itu mendapatkan lapis-lapis kelas marginalisasi yang bersusun-susun tebal.
Dia adalah inlandeer, dalam lingkungan inlandeer sendiri ada diskriminasi dari pihak laki-laki karena masyarakat kita masih feodal dan patriarkis. Saya melihat Kartini bukan sekadar sebagai tokoh feminis dan emansipasitoris. Lebih dari itu dia ialah tokoh kemanusiaan dan kebangsaan.
Apa kesadaran kebangsaan itu muncul ketika dia menyadari sebagai pribumi?
Iya. Sebagai pribumi kenapa tidak punya hak apa-apa atas buminya sendiri. Kenapa tidak mempunyai kekuasaan atas tanah sendiri. Kenapa harus membayar pajak pada bangsa penjajah. Kenapa tidak memiliki akses yang luas terhadap pendidikan.
Kenapa pula pendidikan hanya diperuntukkan pada kelas ningkrat, sementara rakyat jelata tidak. Itulah kegelisahan-kegelisahan dia. Isu-isu yang dia kemukakan sangat manusiawi.
Sebagai perempuan, bagaimana Anda melihat sosok Kartini?
Kontribusi terbesar dia membuka kesadaran kita. Kesadaran perjuangan terhadap keadilan, kesataraan, pandangan serta tindakan yang manusiawi, dan sebagainya.
Sayang cara kita memperingati Hari Kartini seperti kembali ke belakang, seremonial. Memuja-muja Kartini. Buat apa kita muja-muja dia? Dia tidak perlu dipuja-puja. Yang penting kan tindak lanjutnya. Sekarang tantangan kita ialah apa yang akan kita lakukan setelah kesadaran itu dibuka Kartini.
Terutama terhadap kaum perempuan sendiri ya?
Ya, tentang status perempuan, tentang nasib, dan implikasi status itu terhadap ekonomi, politik, dan hak akan pendidikan. Sebetulnya contoh dari Kartini yang mampu kita teladani sekarang adalah dia yang berani melawan hegemoni yang dicoba ditanamkan oleh lingkungannya.
Dalam buku yang ditulis Pramudya Ananta Toer Panggil Aku Kartini Saja, menunjukkan Kartini tidak mau dianggap sebagai seorang bangsawan, sebagai raden ajeng. Mengapa dia melawan tradisi itu?
Berarti dia sadar gelar bangsawan hanya tipuan?
Ya. Dia sadar hal itu. Dia dilabeli sebagai raden ajeng, tapi dia tidak pernah mendapatkan hak istimewa. Dia malah dikawinkan paksa oleh amtenaar (bupati).
Jadi apa gunanya label ini? Yang ada malah membatasi kebebasan dan keinginan dia untuk sekolah ke Belanda dan Betawi. Seperti halnya perempun sekarang, dilabeli tiang bangsa, dilabeli pendidik utama, tapi nasibnya kok jelek banget. Ini warisan pendidikan kita yang tidak benar sampai sekarang.
Namun sebagai bangsawan, Kartini mendapat kesempatan pendidikan yang tidak dirasakan kalangan jelata?
Ya. Dia mendapatkan hak itu, tapi tidak efektif kan? Karena dia dipaksa kawin.
Pram menyebut Kartini lepas dari jebakan provinsialisme ketika memberikan beasiswa kepada Agus Salim yang dari Sumatera Barat.
Betul sekali. Sikap Kartini itu bisa menjadi kritik terhadap kesadaran kebangsaan yang menipis saat ini. Sebab, banyak dari kita yang terjebak pada isu kedaerahan.
Kartini lahir dalam keluarga yang berpoligami. Setelah ibunya melahirkan, dia harus pisah, karena ibunya bukan ningrat. Bagaimana Anda melihat kehidupan sosok Kartini seperti itu?
Tentu saya sedih. Kartini korban dari praktik dominasi dan marginalisasi yang berlapis-lapis, baik sebagai anak maupun perempuan dewasa. Proses kreatif Kartini dan rasa kemanusiaannya berpangkal dari kekerasan yang dialami sebagai anak. Hidup Kartini menunjukkan pada kita bahwa dalam masyarakat feodal dan patriarkhis, semua social cost-nya yang menanggung adalah perempuan dan anak-anak.
Pada zaman Kartini, poligami itu didasarkan doktrin agama Islam. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya tidak rela kalau Islam direduksi maknanya yang membawa keadilan dan kebebasan kepada makna yang sesungguhnya mengerdilkan Islam itu sendiri. Islam menjadi norak.
Padahal, Islam itu menjamin kesetaraan. Di hadapan Tuhan itu hanya takwanya yang membedakan. Tidak ada yang berbasis gender. Muslim itu syarat pertamanya harus cerdas, jangan taklid.
Ada tudingan ide-ide Kartini yang sangat maju karena dia lebih terpengaruh oleh ide-ide Belanda, bukan dari Nusantara. Tanggapan Anda?
Saya tidak setuju ide tentang egalitarianisme atau humanisme itu selalu datang dari Barat. Di Indonesia, dalam Islam, misalnya, aspek-aspek itu ada. Hanya tidak pernah dielaborasi.
Agama dari dulu sampai saat ini dijadikan alat tunggangan untuk dominasi. Tidak bisa mendominasi orang lain, maka istri dan anak-anaknya yang menjadi korban. Untuk mengelaborasi aspek-aspek kesetaraan dan humanisme itu, harus ada demokratisasi dalam Islam.
Kita hanya telat, bukan tidak punya. Tapi, kalau cara-cara keislaman masih memosisikan perempuan di kelas dua, perempuan hanya objek, komoditas, hanya pabrik untuk anak, berarti kita melanjutkan zaman jahiliyah yang tidak ada kemajuannya bagi peradaban.
Itu menunjukkan ide-ide Kartini berbasis pada dirinya sendiri dan bukan karena pengaruh Barat?
Sama sekali tidak. Basisnya pengalaman dan pengamatan dia. Bagaimana sensitivitasnya mampu merasakan kejanggalan-kejanggalan yang dialami sendiri, seperti dipingit, dikawinkan muda, dan sebagainya.
Kartini mengkritik feodalisme Jawa, tanggapan Anda?
Jawa itu stratifikasi sosialnya juga banyak. Kalau saya ditanya, Jawa Pesisir sangat egaliter, kebetulan Kartini hidup di masyarakat Jawa yang penuh tipu-tipu dan norma-norma yang membelenggu.
Jadi, norma Jawa itu seperti Islam sangat beragam, dan bergantung kita mau pilih yang mana. Contohnya dari doktrin Islam itu mau diambil yang menjustifikasi poligami atau yang membebaskan perempuan.
Seperti halnya Soeharto, mengambil nilai-nilai Jawa yang bisa untuk mendominasi dan melanggengkan kekuasaan. Tapi, ada juga nilai-nilai Jawa yang digunakan untuk pembangkangan atau pemberontakan terhadap dominasi.
Kartini tak hidup pada lingkungan agama yang kuat, namun mampu memahami makna agama dengan baik. Mengapa hal itu terjadi pada Kartini?
Kartini sampai pada tingkat substansi, bukan lagi pada bungkus. Misalnya, substansi agama itu adalah welfare (kesejahteraan). Agama itu mendorong perempuan agar tidak bodoh dan miskin.
Misal lain, mencuri dan korupsi itu dilarang. Di semua agama ajaran itu ada. Karena itu, agama adalah sumber perilaku kita, bukan sebagai alat propaganda untuk mencari kekuasaan.
Orang beragama membawa misi kebaikan di dunia. Di setiap agama, potensi itu ada. Tapi, kacaunya tiap agama kan ada saja yang menggunakan untuk mencari kekuasaan sehingga kerusakan yang dia timbulkan. (M. Guntur Romli)
No comments:
Post a Comment