NU v Gerakan Trans-Nasional
Baru-baru ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) mengeluarkan seruan penting, sebagaimana dilansir NU Online, 24 dan 25 April 2007. PB NU meminta masyarakat Indonesia berhati-hati terhadap gerakan trans-nasional yang berkembang di Indonesia. Gerakan itu dinilai berpotensi menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi menyebut beberapa organisasi dan gerakan keagamaan seperti al-Qaidah sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak punya akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia.
Menurut Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sekadar sebuah ideologi politik, bukan jalan hidup.
Lebih jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai indikator gerakan mereka. Padahal, tegas Hasyim, yang perlu dilakukan mestinya bukan formalisasi, melainkan substansialisasi agama.
Kiai Hasyim pun gerah terhadap tindakan mereka yang menghujat kebiasaan amaliah-ritualistik warga NU. Mereka itu, tandas Hasyim, juga telah mengambil-alih masjid-masjid yang dulu didirikan warga NU. Hasyim meminta warga NU menjaga masjid-masjid tersebut agar tak dijadikan pangkalan untuk menyerang NU dan republik.
Untuk mengantisipasi pergerakan mereka, demikian Hasyim, sekurangnya ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, pemantapan ideologi negara Pancasila. Semua gerakan politik di negeri ini harus berasas Pancasila, bukan yang lain. Kedua, perlunya mengukuhkan sendi-sendi Islam moderat hingga ke level bawah masyarakat. Islam moderat inilah yang berpandangan toleran (tasamuh) terhadap pluralitas yang ada di Indonesia.
Sebagai orang yang terlahir dari kultur NU, saya memahami kegelisahan PB NU tersebut. Taushiyah itu kiranya tak mengada-ada. Ia disusun setelah memperhatikan data-data empiris, bukti-bukti otentik, dan laporan dari para kiai NU di daerah-daerah. Dan kewaspadaan NU cukup beralasan karena kaum nahdliyyin tak rela Indonesia dalam petaka.
Semua tahu, NU adalah salah satu ormas keagamaan yang ikut mendesain berdirinya republik ini. Indonesia tegak, salah satunya, karena darah dan air mata para kiai dan warga nahdliyyin. Kaum nahdliyyin berjuang memanggul bambu runcing dan tongkat untuk mengenyahkan para penjajah. Kaum nahdliyyin bukan hanya berkorban harta, bahkan jiwa pun mereka pertaruhkan untuk rumah bernama "Indonesia".
Demikian besar pengorbanan banyak orang demi tegaknya Indonesia. Karena itu, wajar kalau NU geram terhadap sejumlah organisasi yang baru muncul seumur jagung dan berpretensi ingin mengubah ideologi negara. Sudah berkali-kali para kiai NU menegaskan Indonesia dengan Pancasila dan NKRI-nya merupakan keputusan final.
Bagi NU, Pancasila bukanlah ideologi transisi yang secara terpaksa diterima karena politik belum memungkinkan tegaknya ideologi definitif; ideologi Islam misalnya. Ada konsensus di kalangan NU bahwa ideologi Pancasila bagi Indonesia adalah qath’i.
Karena itu, siapa pun yang ingin mengubah Pancasila dan NKRI, langsung atau tidak langsung, akan berhadapan dengan ormas keagamaan terbesar itu. Keinginan Hizbut Tahrir membentuk khilafah Islamiyah, suka atau tidak suka, akan bertubrukan dengan sikap para kiai NU. Begitu juga kehendak ormas-ormas kecil untuk menyulap Indonesia menjadi negara Islam.
Sebagaimana NU, kita juga menghendaki berlanjutnya Indonesia sebagaimana dikehendaki para founding father & mother bangsa ini. Untuk itu, komitmen kebangsaan dan ketundukan semua warga negara terhadap ideologi Pancasila, UUD 1945, dan NKRI mutlak diperlukan. Pengabaian terhadap ideologi negara bisa saja mengantarkan Indonesia ke proses balkanisasi.
Jika itu yang terjadi, Indonesia bukan hanya akan tersisa dalam buku-buku sejarah karena sosoknya sudah ilang kerta ning bumi, tapi konflik antaranak bangsa pun bisa jadi tak terelakkan. Kita jelas tak menginginkan itu. Itulah pentingnya memperhatikan taushiyah PB NU kali ini. (abd moqsith ghazali)
Baru-baru ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) mengeluarkan seruan penting, sebagaimana dilansir NU Online, 24 dan 25 April 2007. PB NU meminta masyarakat Indonesia berhati-hati terhadap gerakan trans-nasional yang berkembang di Indonesia. Gerakan itu dinilai berpotensi menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi menyebut beberapa organisasi dan gerakan keagamaan seperti al-Qaidah sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak punya akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia.
Menurut Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sekadar sebuah ideologi politik, bukan jalan hidup.
Lebih jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai indikator gerakan mereka. Padahal, tegas Hasyim, yang perlu dilakukan mestinya bukan formalisasi, melainkan substansialisasi agama.
Kiai Hasyim pun gerah terhadap tindakan mereka yang menghujat kebiasaan amaliah-ritualistik warga NU. Mereka itu, tandas Hasyim, juga telah mengambil-alih masjid-masjid yang dulu didirikan warga NU. Hasyim meminta warga NU menjaga masjid-masjid tersebut agar tak dijadikan pangkalan untuk menyerang NU dan republik.
Untuk mengantisipasi pergerakan mereka, demikian Hasyim, sekurangnya ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, pemantapan ideologi negara Pancasila. Semua gerakan politik di negeri ini harus berasas Pancasila, bukan yang lain. Kedua, perlunya mengukuhkan sendi-sendi Islam moderat hingga ke level bawah masyarakat. Islam moderat inilah yang berpandangan toleran (tasamuh) terhadap pluralitas yang ada di Indonesia.
Sebagai orang yang terlahir dari kultur NU, saya memahami kegelisahan PB NU tersebut. Taushiyah itu kiranya tak mengada-ada. Ia disusun setelah memperhatikan data-data empiris, bukti-bukti otentik, dan laporan dari para kiai NU di daerah-daerah. Dan kewaspadaan NU cukup beralasan karena kaum nahdliyyin tak rela Indonesia dalam petaka.
Semua tahu, NU adalah salah satu ormas keagamaan yang ikut mendesain berdirinya republik ini. Indonesia tegak, salah satunya, karena darah dan air mata para kiai dan warga nahdliyyin. Kaum nahdliyyin berjuang memanggul bambu runcing dan tongkat untuk mengenyahkan para penjajah. Kaum nahdliyyin bukan hanya berkorban harta, bahkan jiwa pun mereka pertaruhkan untuk rumah bernama "Indonesia".
Demikian besar pengorbanan banyak orang demi tegaknya Indonesia. Karena itu, wajar kalau NU geram terhadap sejumlah organisasi yang baru muncul seumur jagung dan berpretensi ingin mengubah ideologi negara. Sudah berkali-kali para kiai NU menegaskan Indonesia dengan Pancasila dan NKRI-nya merupakan keputusan final.
Bagi NU, Pancasila bukanlah ideologi transisi yang secara terpaksa diterima karena politik belum memungkinkan tegaknya ideologi definitif; ideologi Islam misalnya. Ada konsensus di kalangan NU bahwa ideologi Pancasila bagi Indonesia adalah qath’i.
Karena itu, siapa pun yang ingin mengubah Pancasila dan NKRI, langsung atau tidak langsung, akan berhadapan dengan ormas keagamaan terbesar itu. Keinginan Hizbut Tahrir membentuk khilafah Islamiyah, suka atau tidak suka, akan bertubrukan dengan sikap para kiai NU. Begitu juga kehendak ormas-ormas kecil untuk menyulap Indonesia menjadi negara Islam.
Sebagaimana NU, kita juga menghendaki berlanjutnya Indonesia sebagaimana dikehendaki para founding father & mother bangsa ini. Untuk itu, komitmen kebangsaan dan ketundukan semua warga negara terhadap ideologi Pancasila, UUD 1945, dan NKRI mutlak diperlukan. Pengabaian terhadap ideologi negara bisa saja mengantarkan Indonesia ke proses balkanisasi.
Jika itu yang terjadi, Indonesia bukan hanya akan tersisa dalam buku-buku sejarah karena sosoknya sudah ilang kerta ning bumi, tapi konflik antaranak bangsa pun bisa jadi tak terelakkan. Kita jelas tak menginginkan itu. Itulah pentingnya memperhatikan taushiyah PB NU kali ini. (abd moqsith ghazali)
No comments:
Post a Comment