Laki-Laki dan Perempuan
Perbedaan Bukan Pembedaan
Minggu, 06/05/2007 10:31 WIB | ||
|
Oleh: DR ABD A`LA
Kekerasan seksual –dari pelecehan hingga pemerkosaan–terhadap kaum perempuan nyaris selalu mengiringi setiap kerusuhan dan aksi kekerasan, terutama yang terjadi di beberapa tempat negeri ini. Pada kerusuhan Mei lalu,sebanyak 64 perempuan mengalami perkosaan massal, sedangkan pada konflik Poso yang terjadi mulai 1998 hingga saat ini data yang terdokumentasi pada Komnas Perempuan menunjukkan adanya delapan pemerkosaan.
Hal semacam itu tentu jarang –atau bahkan hampir tidak– dialami kaum laki-laki. Kaum perempuan (dan juga anak-anak) selalu mengalami dua atau berlipat kali penderitaan lebih parah ketimbang kaum laki-laki. Ada kecenderungan kaum-kaum laki-laki bahkan manusia secara umum untuk menyikapi lebih rendah terhadap kaum perempuan.
Ketika kesempatan ada, saat terjadi kerusuhan misalnya, sikap itu ditumpahruahkan dalam bentuk penistaan yang benar-benar menyengsarakan, misalnya perkosaan. Dalam kondisi normal pun kaum Adam cenderung melihat dan memperlakukan lawan jenisnya sebagai makhluk setengah manusia, bahkan benda setengah makhluk.
Kaum hawa di mana-mana dan hingga saat ini masih menjadi objek dari kaum laki-laki. Kaum perempuan selalu mengalami pembedaan perlakuan ketimbang lawan jenisnya. Berbeda, Bukan Tidak Setara Berbedanya perempuan dari laki-laki, khususnya dari aspek biologis, merupakan realitas yang tidak dapat dimungkiri.
Jangankan perempuan dengan laki-laki, antara laki-laki yang satu dengan yang lain juga pasti berbeda, mulai postur tubuh hingga karakter-tabiatnya. Namun, perbedaan ini tidak mengacu kepada konsep nilai bahwa yang satu lebih baik dari yang lain, atau yang satu lebih mulia ketimbang yang lain.
Dari sisi teologis, Tuhan menjadikan perbedaan dalam kehidupan selain untuk memperindah kehidupan sehingga kaya nuansa, juga untuk mempererat hubungan antara satu dan yang lain, serta untuk mengembangkan keseimbangan. Melalui itu, kelemahan, keterbatasan yang satu bisa ditutupi dengan kelebihan yang lain.
Pada tataran semacam itu keberbedaan perempuan dan laki-laki berada. Ambil contoh, sementara laki-laki memiliki keterbatasan tidak mampu hamil dan memelihara janin, perempuan mampu melakukannya melalui proses yang sangat menakjubkan selama sembilan bulan. Namun, untuk menaburkan benih, perempuan perlu menuntut keaktivan laki-laki lebih dari keaktivan yang diperlukan kaum perempuan.
Pada sisi ini, saling bergantung satu kepada yang lain kelihatan jelas. Saling bergantung ini meniscayakan pengembangan pola hubungan kemitraan yang merepresentasikan keadilan kesederajatan, dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai dimensinya. Pada gilirannya nilai itu harus memunculkan solidaritas dan kekuatan solid. Egoisme Laki-laki Wahyu Tuhan –Alquran– seutuhnya merepresentasikan hal tersebut.
Nilai-nilai substantif universal yang dikandungnya menegaskan nilai-nilai luhur ini dan keniscayaan umatnya untuk merealisasikannya dalam kehidupan mereka. Persoalan muncul ketika wahyu itu harus ditubuhkan ke dalam bahasa manusia yang penuh keterbatasan. Masalah tambah runyam ketika dalam bahasa yang penuh keterbatasan itu, sebagian manusia (baca, kaum laki-laki) mengambil kesempatan untuk memaknainya berdasarkan ideologi supremasi yang dianut dan interes subjektif yang sarat dengan syahwat dan keserakahan.
Dampak yang kemudian berkembang –dan terus menguat hingga sekarang– adalah pengaburan makna perbedaan dan pembedaan. Mereka menyikapi perbedaan sebagai pembedaan. Kelompok-kelompok tertentu menganggap, kaum perempuan memang dari ’’atas sana” sudah lebih rendah daripada laki-laki, yang kehadirannya sekadar untuk menyenangkan kaum laki-laki, bukan sebaliknya. Sejalan dengan paradigma ini, mereka juga beranggapan keharusan keterkungkungan kaum perempuan dan ’’keboleh-bebasan’’ kaum laki-laki.
Realitas semacam itu terus membayang-bayangi kehidupan bangsa saat ini. Sebagian kelompok fundamentalis selalu ’’mengejar-ngejar” kaum perempuan melalui segala upaya yang dapat menjadikan kaum hawa sebagai mangsa empuk mereka. Bahkan, dalam perspektif lebih luas, sebagian (besar?) elite bangsa juga cenderung menistakan kaum perempuan melalui pemaknaan demokrasi reduktif. Tokoh atau kelompok yang seharusnya mengawal demokrasi justru bersikap mengeluarkan kebijakan atau melakukan perbuatan yang menohok nilai-nilai demokrasi, mulai pengabaian atas keadilan, kesetaraan, hingga melawan kepentingan umum. Dalam kondisi semacam itu, lagi-lagi perempuan menjadi korban paling parah.
Bukti konkretnya, ketika kekerasan merebak di berbagai daerah dan banyak perempuan yang diperkosa, pemerintah tidak pernah serius untuk menuntaskan persoalan, apalagi menyelesaikan akar masalahnya. Hal senada juga dilakukan sebagian kelompok agama fundamentalis. Dengan berlindung di balik janda-janda yang menjadi korban kerusuhan dan mengatasnamakan mereka mencari sumbangan dan lain-lain.
Pada sisi itu, urgensi bangsa Indonesia untuk beragama secara tulus; beragama untuk pengembangan moralitas luhur. Pada sisi itu pula signifikansi bangsa untuk mengembangkan demokrasi substantif sehingga keadilan dan kesetaraan menjadi bagian intrinsik dari sikap dan perilaku. Semoga, sepuluh tahun berlalunya tragedi Mei dapat menyelesaikan –minimal mengurangi secara signifikan–pembedaan terhadap kaum perempuan. (*)
DR ABD A`LA
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan
No comments:
Post a Comment