Mencegah Muslim Konservatif |
Fenomena keagamaan pada masyarakat Islam Indonesia saat ini tampak kembali menguat. Namun, kebangkitan itu lebih menonjolkan bentuk formalisasi keagamaan seperti kewajiban memakai jilbab, busana muslim, tata cara hidup kaum Salafi, hingga penerapan peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam, dibandingkan substansiasi Islam.
Jika pada 2003 hanya tujuh daerah yang menerapkan Perda model itu, saat ini jumlahnya sudah melonjak menjadi 53 atau lebih dari 10 persen dari seluruh daerah di Indonesia (Time, 5 Maret 2007). Umumnya, formalisasi keagamaan dan penerapan Perda itu, dianggap jalan keluar dari krisis moral, ekonomi, politik, dan budaya yang menimpa Indonesia sejak 1997. Bahkan, bila ada seorang muslim yang tidak mendukung atau mengkritik model keberagamaan dan Perda bernuansa syariat ini akan dianggap bukan muslim atau diragukan keislamannya.
Pascakegagalan perjuangan partai-partai Islam dalam menghidupkan kembali Piagam Jakarta, sepertinya mereka mengubah strategi gerakan. Jika sebelumnya lebih bersifat top down yang nantinya diharapkan akan berpengaruh ke daerah, nampaknya saat ini mereka lebih memilih menggarap daerah-daerah untuk menerapkan Perda-perda syariat itu. Dan, keberhasilan beberapa daerah dalam menerapkan perda model ini, seperti di Bulukumba, Aceh, dan Padang, menginspirasi daerah lain untuk juga mengikutinya.
Pada kasus beberapa daerah, penerapan perda syariat Islam dianggap sebagai jalan keluar dari krisis, mengurangi kejahatan, meningkatkan perekonomian, dan menjadikan daerahnya lebih religius dan beriman. Bahkan di suatu daerah, disebutkan bahwa pascapenerapan Perda syariat Islam, kejahatan menjadi jarang dan APBD-nya bisa melonjak drastis.
Euforia Gerakan Salafi
Sebetulnya, sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, penerimaan masyarakat terhadap syariat Islam tidak perlu diragukan lagi. Mayoritas umat Islam menjalankan rukun Islam dan memegang teguh rukun Iman, serta mendasarkan hidupnya pada Alquran dan Hadits sebagai tuntunan kehidupan yang harus dipegang teguh. Namun, dalam formalisasi syariat Islam lewat institusi politik atau hukum, masih belum terjadi kesepakatan.
Soalnya, persoalan-persoalan yang dijadikan aturan dalam Perda syariat itu lebih banyak yang bersifat moral dan seremonial. Kita contohkan di antaranya aturan larangan perjudian, larangan minum-minuman keras, larangan perempuan untuk keluar malam sendirian, kewajiban untuk melakukan salat Jumat, keharusan menguasai baca tulis Alquran bagi seluruh siswa, dan sebagainya. Sedangkan persoalan-persoalan serius yang menjadi tantangan kehidupan, seperti bagaimana Islam menjawab problem kemiskinan, bagaimana Islam memberantas korupsi, Islam memajukan perempuan dan pendidikan, serta bagaimana menciptakan pemerintahan yang bersih dan berkualitas, tidak tercakup dalam pasal-pasal Perda syariat itu.
Gejala menguatnya konservatisme keagamaan dan fenomena kuatnya keinginan menjadikan syariat Islam sebagai solusi terhadap krisis ini, tampaknya dipicu kegeraman sebagian umat Islam terhadap lemahnya peran pemerintah dan aparat hukum. Mereka melihat, pemerintah yang telah berganti-ganti ternyata tidak menjadikan hidup lebih baik dan rakyat lebih sejahtera. Terbukti, korupsi masih terus terjadi, bencana menjadi menu tontonan tiap hari, para anggota DPR dan DPRD sibuk mencari untung sendiri, hukum masih pilih kasih dan tebang pilih, harga-harga pun melonjak tinggi.
Bahkan, adanya kejahatan yang terus terjadi dan aparat yang tidak lekas tegas menyelesaikan, menjadikan sekelompok orang Islam yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu sering bertindak menjadi polisi sipil yang siap menggebuk dan mengamankan siapa saja yang dianggap bersalah. Dalam kondisi frustrasi yang berlebihan itu, banyak orang-orang yang mempercayai bahwa syariat Islam adalah obat mujarab yang bisa menyelesaikan semua masalah dan mengentaskan dari krisis multidimensional.
Dalam kondisi seperti itu, ide-ide purifikasi keagamaan dari kaum salafi menemukan momentum dan lahan yang subur untuk membumikan gagasan dan gerakannya. Tidak heran, jika banyak di antara pemuda dan pemudi yang pada masa sekolahnya sama sekali tidak terbiasa dengan tradisi keagamaan, lantas ketika masuk kuliah atau dunia kerja mendapatkan lingkungan yang mengenalkan ajaran Islam yang murni dan sesuai zaman Nabi, merasa seakan-akan lahir kembali dan menemukan apa yang selama ini dicarinya. Makanya, banyak lembaga-lembaga pesantren dan sekolah Islam yang didirikan oleh alumni Timur Tengah, banyak mengundang minat masyarakat.
Mereka menganggap bahwa masjid, sekolah, atau lembaga pendidikan, dan lembaga lain yang didirikan oleh pemerintah atau organisasi mainstream, seperti NU dan Muhammadiyah, kurang aktif berdakwah, tidak tegas keislamannya, dan terlalu berwacana. Walhasil, ide-ide keagamaan puritan seperti wahabisme tumbuh subur di kalangan Islam Indonesia.
Konservatisme keberagamaan muslim Indonesia ini semakin menemukan momentumnya ketika pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa pengajaran keagamaan yang dipengaruhi oleh pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme pada dasarnya menyerang Islam, dan karenanya harus dilarang. Dengan demikian, kampanye sebagian tokoh Islam konservatif untuk menegakkan syariat Islam dan menyebarkan ajaran salafisme sebagai kebenaran tunggal, semakin berjaya, dan tidak ada pesaingnya.
Konsolidasi Muslim Progresif
Terlepas dari segala propagandanya yang menganggap bahwa konservatisme keagamaan dan Islam puritan yang paling cocok hidup di bumi Indonesia, sesungguhnya harus dilihat dengan jelas bahwa Islam Indonesia sangat berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Islam di sini sejak dari masuknya sudah melakukan akulturasi dengan budaya lokal sehingga dapat dengan cepat diterima masyarakat Indonesia.
Selain itu, Islam di Timur Tengah yang menekankan pada semangat kebenaran tunggal dan menutup pintu dialog, kurang cocok dengan masyarakat Indonesia yang multietnis dan multireligi. Selama ini pun, banyak kekerasan, konflik, dan terorisme yang justru dilakukan oleh para tokoh Islam Timur Tengah seperti Osama bin Laden dengan jaringan Al-Qaedanya. Karenanya, Islam khas Indonesialah yang lebih menekankan pada dialog, keramahan, perlindungan terhadap minoritas, dan pengakuan terhadap keberagaman yang mestinya harus disemai agar tumbuh dengan subur di negeri ini.
Di samping itu, pada dasarnya mayoritas muslim Indonesia berpaham moderat. Artinya, mereka tidaklah terlalu condong ke kiri dengan menjadi liberal dan juga tidak terlalu condong ke kanan menjadi konservatif atau fundamentalis. Namun, kaum moderat ini sering menjadi mayoritas yang diam. Artinya, mereka tidak terlalu peduli dan meributkan pergesekan ini. Padahal, kejadian hari ini akan menentukan Islam di Indonesia pada 5 sampai 10 tahun mendatang. Jika para kaum konservatif dan fundamentalis muslim ini berhasil menerapkan Perda Syariat Islam di mayoritas daerah, tidak mustahil suatu saat nanti konstitusi Indonesia akan diubah menjadi negara Islam.
Sangat mungkin pula orang-orang yang berlainan paham atau tidak mendukung gerakan Islam konservatif yang kerap bersekutu dengan kalangan Islam politik ini, akan diberangus atau diberlakukan secara diskriminatif sebagaimana terjadi di Iran, Afghanistan pada era Thaliban, serta di Sudan. Karenanya, pembajakan demokrasi dengan cara memperjuangkan ide yang tidak demokratis (tidak melindungi kaum minoritas ini) haruslah diwaspadai dan sebisa mungkin dieliminasi.
Akhirnya, saya sangat setuju dengan apa yang ditegaskan oleh Buya Syafii Ma’arif (2004), bahwa konservatisme atau fundamentalisme agama yang bernafsu memonopoli kebenaran atas nama Tuhan akan berakibat tidak jauh berbeda dengan sekularisme-ateistik yang telah talak tiga dengan apa yang bernama iman. Dengan kehidupan yang tanpa iman itu, seseorang akan gampang melakukan apa saja demi mencapai tujuannya meski dia melanggar prinsip dasar agama yang mengajarkan kebaikan dan mencegah kebenaran atau tidak sesuai dengan prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Menjadi tugas kita semua untuk menjaga Islam Indonesia dengan menjadi muslim yang progresif dengan menjunjung keadilan, pluralisme, kesetaraan gender, melindungi kaum minoritas, dan berani menentang kebijakan negara manapun yang diskriminatif. Wallahu a’lam bisshawab. (*)
AHMAD FUAD FANANI
Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Dosen FE UHAMKA - Jakarta
No comments:
Post a Comment