Monday, May 21, 2007

Moderasi Politik Islam di Turki


Syahrul Hidayat

Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Mahasiswa Program MA Middle East Studies Institutue of Arab and Islamic Studies University of Exeter UK

Aksi sejuta demonstran di Istanbul 29 April lalu seolah melanjutkan memorandum penolakan militer Turki dua hari sebelumnya atas terpilihnya Abdullah Gul dalam pemilihan presiden putaran pertama negeri itu di parlemen. Penolakan kelompok pendukung sekularisme peninggalan Kemal Attaturk itu merupakan akumulasi kekhawatiran mereka atas penguasaan parlemen dan pemerintahan oleh Partai Pembangunan dan Keadilan (dalam bahasa Turki disingkat jadi AKP) sejak pemilu 2002 lalu.

Oleh sebagian pihak di Turki, AKP memang dituding memiliki agenda-agenda terselubung untuk melakukan Islamisasi di berbagai institusi publik seperti pendidikan dan birokrasi. AKP sendiri menolak anggapan tersebut dan tetap kukuh dengan keyakinannya akan ideologi demokrasi konservatif dan tidak memiliki agenda formalisasi Islam.

Moderasi politik Islam
AKP sendiri tidak menyebut dirinya sebagai partai yang mendukung Islam sebagaimana dituduhkan banyak pihak. Mereka lebih suka menyebut partai ini sebagai pendukung demokrasi dan menyatakan ideologi mereka sebagai demokrasi konservatif. AKP mencoba melakukan strategi baru dalam berpolitik dengan mendukung sekularisasi dalam pengertian institusional di tingkat negara termasuk ke dalam partai mereka, namun juga melakukan sakralisasi di kedua level tersebut.

Negara nasional misalnya didefinisikan sebagai negara yang melingkupi seluruh negeri beserta penduduknya yang mayoritas Muslim. Partai secara organisasi bagi mereka adalah institusi sekuler yang diisi oleh individu-individu yang memiliki religiusitas. Dengan pengertian itu pula, maka negara harus menjadi representasi dari keinginan rakyat dan tidak hanya dimiliki dan diatur oleh elite-elite politik. Secara tidak langsung, terdapat keinginan untuk memperhitungkan pula corak religiusitas masyarakat Turki untuk diakomodasi negara yang selama ini terabaikan oleh kebijakan sekularisme yang ketat.

Atas dasar pemahaman tersebut, AKP berusaha menjadi representasi di tingkat negara dari 'kelas' baru masyarakat Turki, yaitu masyarakat di desa dan kota-kota provinsi yang terangkat oleh kebijakan liberalisasi ekonomi pada masa Turgut Ozal di era 1980-an hingga awal 1990-an. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih terbuka telah memberikan kesempatan masyarakat di luar pusat-pusat ekonomi yang mapan untuk mendapatkan keuntungan dari ekonomi yang bergairah. Hasilnya adalah akses terhadap ekonomi dan pendidikan yang lebih baik di kota-kota provinsi sekaligus melakukan penetrasi terhadap kota-kota utama seperti Ankara dan Istanbul melalui proses urbanisasi.

Setelah melepaskan diri dari pengaruh Erbakan karena dianggap terlalu konservatif terhadap Islam termasuk strategi politiknya, Erdogan dan Gul mendirikan AKP. Mereka membawa partai lebih dekat kepada ide-ide sekularisme dan mencoba menanggalkan simbolisasi Islam dengan mengubah basis justifikasi atau interpretasi terhadap isu-isu krusial serta identifikasi terhadap kecenderungan baru pemilih. Suatu langkah yang disebut oleh Jillian Schwedler sebagai moderasi politik. 'Proyek' ini berhasil diterapkan dan memperoleh dukungan 34 persen pemilih pada pemilu 2002 dan berkat electoral threshold 10 persen yang membuat partai-partai sekuler terlempar dari parlemen, kecuali RPP, partai tersebut menguasai 373 kursi parlemen.

Sekularisasi dan sakralisasi
Apa yang dilakukan oleh AKP merupakan contoh nyata dari 'pengorbanan' untuk mencoba menanggalkan karakter politik identitas yang kental dan menerima jargon-jargon sekuler. Namun AKP mencoba meramunya dengan nilai-nilai sakral dan menjadi sebuah perpaduan antara sekularisasi dan sakralisasi simbol negara.

'Proyek' tersebut dapat dikatakan berhasil ketika sakralisasi simbol-simbol sekuler masih berada pada koridor universal dalam pengertian dipahami pula oleh mereka yang berada dalam domain non-sakral. Ketika AKP secara agresif mengagendakan proposal menjadi anggota Uni Eropa, mereka relatif tidak mendapat tantangan berarti karena sejumlah syarat yang diminta merupakan bagian dari Copenghagen Criteria yang merupakan kriteria universal, paling tidak di kalangan masyarakat Eropa.

Penggunaan jargon kenggotaan Uni Eropa sebagai kelanjutan dari cita-cita paripurna sekularisme Kemal termasuk kesempatan ekonomi yang lebih menjanjikan, menjadi senjata andalan AKP untuk diterima oleh semua pihak di Turki. Termasuk di antara agenda universal itu adalah me-review standar perlindungan hak asasi manusia yang mengurangi kewenangan militer.

Namun. ketika AKP mencoba mengagendakan kembali cita-cita politik identitas, walaupun dengan alasan sebagai wujud agregasi politik sebagian masyarakat Turki, penentangan terbuka kembali muncul. Beberapa agenda tersebut di antaranya memperbolehkan pendidikan agama di luar waktu sekolah, memberi kesempatan kepada lulusan Imam Hatip (semacam sekolah agama) untuk mendaftar ke universitas, dan memperbolehkan pemakaian kerudung di universitas.

Walaupun agenda-agenda tersebut tidak atau belum diterima oleh beberapa kalangan termasuk mahkamah agung dan presiden, kecurigaan dan kekhawatiran terhadap politik identitas AKP tidak mampu tertutupi oleh prestasi cemerlang Gul sebagai menteri luar negeri. Sosok Gul belum cukup meyakinkan sebagai figur yang menerima sekularisme secara substansial dan pengajuannya sebagai presiden memantik kembali penolakan atas segala politik identitas dalam demokrasi di samping ketidakrelaan mereka memiliki first lady yang memakai kerudung.

Aktivitas politik kalangan Islam berbentuk partai politik dalam sistem demokrasi masih menyisakan friksi yang belum terpecahkan, yaitu penerimaan atas politik identitas Islam walaupun atas nama representasi dan apresiasi pemilih. Secara prosedural, demokrasi masih mampu mengakomodasi hal itu, namun secara ideologis masih terdapat ganjalan terhadap munculnya politik Islam melalui jalur demokrasi itu, paling tidak oleh para pendukung sekularisme total seperti ditunjukkan di Turki. Pada tahap ini, tampaknya moderasi politik belum mampu menjadi obat mujarab untuk mengatasi ketegangan antara demokrasi dan politik moderasi dari ideologi yang dianggap 'alien' terhadapnya.

No comments: