Monday, May 21, 2007

Gerakan Islam Transnasional

  • Oleh Tedi Kholiludin

PENGURUS Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), akhir bulan April lalu meminta masyarakat hati-hati terhadap gerakan transnasional yang berkembang di Indonesia. Gerakan ini dinilai potensial menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan bukan tidak mungkin akan mengoyak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal yang sama juga dilakukan oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah dengan mengeluarkan surat edaran yang diperuntukkan bagi para anggotanya yang juga masuk dalam organisasi transnasional. Surat itu secara tegas berisi tentang pilihan: Muhammadiyah atau organisasi yang berideologi transnasional. (Syirahonline, 3/5/07)

Apa itu gerakan Islam transnasional? Siapakah mereka? Dari mana asal usulnya? Bagaimana strateginya? Bentuknya seperti apa? Seberapa besar pengaruh mereka, hingga NU dan Muhammadiyah menyerukan warganya untuk mewaspadai gerakan ini?

Nama transnasional sendiri mungkin terasa masih baru terdengar. Namun itu hanyalah nama lain dari istilah Globalized (globalisasi) Islam, Fundamentalisme, Islam Kanan, dan Islam Radikal. Gerakan Islam transnasional merupakan pola pergerakan Islam mondial yang hendak membenamkan cita-cita Islam di pelbagai negara.

Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, menyebut Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan al-Qaedah sebagai bagian dari gerakan politik dunia. Ketiga organisasi ini pada dasarnya tidak memiliki pijakan kultural yang kuat, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sekadar sebuah ideologi politik, bukan jalan hidup.

Ikhwanul Muslimun didirikan oleh Hasan al-Banna (1324รณ1368 H/ 1906-1949 M) di Mesir tahun 1928. Doktrin yang menjadi inspirasi gerakan Ikhwanul Muslimin adalah pertama, gerakan ikhwan adalah gerakan Rabbaniyyah (ketuhanan). Kedua, gerakan ikhwan bersifat alamiyah (internasional). Arah gerakan ditujukan kepada semua umat manusia.

Ketiga, gerakan ikhwan bersifat Islami. Orientasi dan nisbatnya hanya kepada Islam. Dalam praktiknya, pola yang diterapkan oleh Ikhwanul Muslimin tidak tersentral dalam satu markas dan satu komando, tidak seperti pola Hizbut Tahrir. Kenapa tidak terpusat? Karena Ikhwanul Muslimin tidak memimpikan khilafah islamiyah internasional.

Oleh sebab itu, masing-masing daerah punya kewenangan sendiri untuk mengembangkan Ikhwanul Muslimin sesuai dengan kultur dan politik negara di mana ia berkembang. Dan bisa diberi label apa pun. Kalau di Indonesia bisa bernama Partai Keadilan Sejahtera (?), di Turki bisa memakai Partai Kesejahteraan dan Keadilan, di Malaysia bisa pakai PAS. Meski namanya berbeda, tapi ideologi, manhaj dan pola-polanya itu memiliki kesamaan antara Ikhwanul Muslimun di daerah satu dengan daerah yang lainnya.

Sementara Taqiuddin an-Nabhanyi terus berkampanye di kelompoknya di Suriah, Lebanon dan Yordania, dan kemudian berdirilah Hizbut Tahrir, yang berarti partai pembebasan. Maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkeraman Barat dan dalam jangka dekat membebaskan Palestina dari Israel. Konsep utama dari gerakan Hizbut Tahrir adalah khilafah Islamiyah.

Di luar dua kelompok tersebut, hadir pula gerakan transnasional dalam faksi yang paling radikal oleh Al Qaedah. Meskipun tidak ada hubungan organisasi secara langsung, tapi pengaruh Al Qaedah ini begitu luar biasa bagi kelompok-kelompok kecil yang menggunakan teror sebagai sarana perjuangan.

No comments: