Monday, May 21, 2007

Kritik atas Penolakan

Ideologi Transnasional

Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin

Pada pembukaan temu wicara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pengkajian Konstitusi di Jakarta, Jum'at 23 Februari 2007, Ketua PB NU Hasyim Muzadi menyatakan, "NU menggunakan pendekatan substansial inklusif ketika berhubungan dengan negara. Bagi NU, UUD 45 itu sarat makna agama meski tidak ada stempel agamanya. Namun, saat diberi stempel Islam, agama lain akan marah. NU memiliki dua dimensi. Pertama, sesuai AD/ART, NU melakukan syari'at Islam dalam lingkup umat Islam. Kedua, untuk Indonesia, NU tak memaksakan syari'at. Tetapi membangun hukum nasional yang diilhami nilai agama. Bagi NU, Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler." (Kompas, 26 Februari 2007).

Pernyataan tersebut jelas bertentangan dengan khithah perjuangan NU sendiri. Dalam AD/ART NU Pasal 2 ayat 2 dinyatakan, "Menegakkan syari'at Islam menurut haluan Aswaja (Ahlu sunnah wal Jama'ah)." Konkretnya, seperti dikatakan Imam Syafi'i, haluan Aswaja, adalah mengamalkan syari'at Islam dalam pengelolaan pemerintahan dan pengadilan.

Lagi pula, benarkah UUD '45 sarat makna agama meski tidak ada stempel agamanya? Pernyataan ini bukan kenyataan yang terjadi di masyarakat? Terjadinya pelacuran, perjudian, korupsi, narkoba, perdagangan perempuan, jual beli bayi, ternyata tidak diharamkan dalam UUD '45. Tidak ada ketegasan sikap terhadap perbuatan maksiat yang bertentangan dengan semua agama. Lalu, dimana nuansa agamanya?

Keberpihakan UU terhadap doktrin agama harus tegas. Penolakan terhadap paham sesat dan perbuatan yang dikategorikan maksiat, yang sudah jelas merugikan masyarakat, juga harus jelas. Menghalalkan atau mengharamkan, agar tidak terjadi persepsi abu-abu dan oportunistik. Alih-alih bersikap tegas, negara justru banyak membuat aturan moral, politik, ekonomi, keamanan, yang bersifat munkarat dan zalim. Akibatnya, perilaku bejat, merajalela mulai dari pejabat hingga rakyat jelata.

Dalam posisinya sebagai ketua PB NU, ia juga mendesak pemerintah untuk mencegah masuknya ideologi transnasional ke Indonesia, baik ideologi transnasional dari Barat maupun dari Timur, yang dinilainya sama-sama merusak NU dan Indonesia. Kemudian, dirinya mengaku hendak mengkampanyekan Islam ala NU sebagai alternatif transideologi, dengan memandang Islam sebagai agama dan bukan sebagai ideologi.

Ketika memperingati khaul 100 hari wafatnya KHM Yusuf Hasyim di kantor PWNU Jawa Timur, Ahad 29 April 2007, Hasyim Muzadi berpidato, "Apa yang terjadi di Timur Tengah selama ini bukan Islam sebagai agama, tapi ideologi Islam. Dan ideologi Islam di Timur Tengah antara lain Ikhwanul Muslimin, Majelis Mujahidin, Alqaidah, dan sebagainya. Tapi ideologi Islam itu bukan Islam, karena Islam sebagai agama bukan bersifat gerakan kepentingan apalagi politis." (Republika, 30/4/2007).

Peringatan agar menolak ideologi Islam made in Timur Tengah, persis sama dengan nasihat Snouck Hurgronje kepada penjajah kolonial Belanda yang berkedudukan di Batavia. Barangkali hanya kebetulan saja, tapi untuk mengetahui misi dan latar belakang pemikiran yang secara tiba-tiba dilontarkan Hasyim Muzadi, cukup menarik dan mengundang tanda tanya. Apalagi, peringatan itu dikaitkan dengan institusi Islam, Majelis Mujahidin, yang selama 6 tahun terakhir ini menawarkan formalisasi syari'at Islam di lembaga negara, sebagai solusi alternatif mengatasi problem bangsa Indonesia.

Dalam buku Nasihat-nasihat C Snouck Hurgronje Semasa kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje pernah menyusup ke Makkah dengan mengganti namanya, Abdul Ghafar. Dia menasihatkan agar pemerintah Belanda selektif dan cermat terhadap transpemikiran yang datang dari Timur Tengah, khususnya dari pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. Agar mengawasi arus komunikasi antara komunitas ulama Indonesia terutama dengan para ulama Timur Tengah, khususnya ulama Makkah yang beraliran wahabi. Nasihat ini disampaikan oleh Snouck kepada gubernur jenderal Belanda yang berkedudukan di Batavia, 4 Mei 1898.

Penolakan seperti ini lebih banyak membingungkan ketimbang memberi solusi keagamaan. Apalagi, logika penolakan yang dilontarkannya bersifat tanaqud (kontroversi). Sungguh menyedihkan, di satu segi dia menolak paham Islam yang datang dari luar, tetapi dia mau mengekspor ajaran NU sebagai ideologi transnasional. Apa dasar pembenaran logika pemikiran semacam ini?

Pengertian Islam
Penonjolan istilah Islam ideologis yang dianggapnya bukan Islam, hanyalah gambaran dari pengaruh doktrin marxisme atau gereja yang sangat membenci segala yang bernuansa agama dalam kancah politik praktis. Karena pembagian antara Islam sebagai agama di satu pihak dan Islam sebagai ideologi di pihak lain, persis doktrin gereja yang bersemboyan, 'gereja hanya mengurusi ritual, sedang urusan negara menjadi kewenangan kaisar'.

Jika Islam ideologi dianggap bukan agama, lalu apa definisi agama yang dimaksud? Pada tahun 50-an, sidang tarjih Muhammadiyah, menelorkan sebuah keputusan tentang makna agama. Yaitu, tatanan kehidupan dalam segala aspeknya, termasuk politik dan kenegaraan.

Jadi agama, baik dalam pandangan NU maupun Muhammadiyah berfungsi sebagai tatanan kehidupan yang mencakup semua aspek kehidupan. Dalam persepektif ini, jelas tidak ada perbedaan antara Islam ideologis dengan Islam sebagai agama. Dahulu, Muhammadiyah menjadi pendukung utama partai Masyumi yang bertujuan tegaknya syari'at Islam dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, bangsa, dan negara. Tujuan ini, pada awalnya juga mendapat dukungan penuh warga NU.

Oleh karena itu, menganggap Islam ideologi hanyalah gerakan politik, dan bukan gerakan agama, selain membingungkan warga Nahdhiyin sendiri, juga mengundang dilema. Sebab, faktanya para kiai NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), bahkan sekarang muncul tandingan baru, Partai Kebangkitan Nahdhatul Ummah (PKNU).

No comments: